(30) NURUL 'A'YUN

43 Karya Tulis/Lagu Nur Amin Bin Abdurrahman:
(1) Kitab Tawassulan Washolatan, (2) Kitab Fawaidurratib Alhaddad, (3) Kitab Wasilatul Fudlola', (4) Kitab Nurul Widad, (5) Kitab Ru'yah Ilal Habib Luthfi bin Yahya, (6) Kitab Manaqib Assayyid Thoyyib Thohir, (7) Kitab Manaqib Assyaikh KH.Syamsuri Menagon, (8) Kitab Sholawat Qur'aniyyah “Annurul Amin”, (9) Kitab al Adillatul Athhar wal Ahyar, (10) Kitab Allu'lu'ul Maknun, (11) Kitab Assirojul Amani, (12) Kitab Nurun Washul, (13) Kitab al Anwarullathifah, (14) Kitab Syajarotul Ashlin Nuroniyyah, (15) Kitab Atthoyyibun Nuroni, (16) Kitab al 'Umdatul Usaro majmu' kitab nikah wal warotsah, (17) Kitab Afdlolul Kholiqotil Insaniyyahala silsilatis sadatil alawiyyah, (18) Kitab al Anwarussathi'ahala silsilatin nasabiyyah, (19) Kitab Nurul Alam ala aqidatil awam (20) Kitab Nurul Muqtafafi washiyyatil musthofa.(21) KITAB QA'IDUL GHURRIL MUCHAJJALIN FI TASHAWWUFIS SHOLIHIN,(22) SHOLAWAT TARBIYAH,(23) TARJAMAH SHOLAWAT ASNAWIYYAH,(24) SYA'IR USTADZ J.ABDURRAHMAN,(25) KITAB NURUSSYAWA'IR(26) KITAB AL IDHOFIYYAH FI TAKALLUMIL ARABIYYAH(27) PENGOBATAN ALTERNATIF(28) KITAB TASHDIRUL MUROD ILAL MURID FI JAUHARUTITTAUHID (29) KITAB NURUL ALIM FI ADABIL ALIM WAL MUTAALLIM (30) NURUL 'A'YUN ALA QURRATIL UYUN (31) NURUL MUQODDAS FI RATIBIL ATTAS (32) INTISARI & HIKMAH RATIB ATTAS (33) NURUL MUMAJJAD fimanaqibi Al Habib Ahmad Al Kaff. (34) MAMLAKAH 1-25 (35) TOMBO TEKO LORO LUNGO. (36) GARAP SARI (37) ALAM GHAIB ( 38 ) PENAGON Menjaga Tradisi Nusantara Menulusuri Ragam Arsitektur Peninggalan Leluhur, Dukuh, Makam AS SAYYID THOYYIB THOHIR Cikal Bakal Dukuh Penagon Nalumsari Penagon (39 ) AS SYIHABUL ALY FI Manaqib Mbah KH. Ma'ruf Asnawi Al Qudusy (40) MACAM-MACAM LAGU SHOLAWAT ASNAWIYYAH (bahar Kamil Majzu' ) ( 41 ) MACAM-MACAM LAGU BAHAR BASITH ( 42 ) KHUTBAH JUM'AT 1998-2016 ( 43 ) Al Jawahirun Naqiyyah Fi Tarjamatil Faroidus Saniyyah Wadduroril Bahiyyah Lis Syaikh M. Sya'roni Ahmadi Al Qudusy.

Minggu, 16 September 2012

MAKNA KESUCIAN DARI BULAN-BULAN HARAM (AL ASY HURUL HURUM) Posted on Juli 30, 2007 by abuzubair MAKNA KESUCIAN DARI BULAN-BULAN HARAM (AL ASY HURUL HURUM) Download PDF Al Asy Hurul Hurum adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Bulan-bulan ini di istimewakan oleh Allah Ta’ala dengan kesuciannya dan Dia menjadikan bulan-bulan ini sebagai bulan-bulan pilihan di antara bulan yang ada. Allah Ta’ala berfirman: pic5.jpg “Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram…” (QS. At Taubah:36) Ibnu Jarir ath Thabari rahimahullah meriwayatkan melalui sanadnya, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu sehubungan dengan pengagungan Allah terhadap kesucian bulan-bulan ini, beliau berkata, “Allah Ta’ala telah menjadikan bulan-bulan ini sebagai (bulan-bulan yang) suci, mengagungkan kehormatannya dan menjadikan dosa yangdilakukan pada bulan-bulan ini menjadi lebih besar dan menjadikan amal shalih serta pahala pada bulan ini juga lebih besar.” (Tafsir ath Thabari) Orang-orang arab pada masa Jahilyah mengharamkan (mensucikan) bulan ini, mengagungkannya serta mengharamkan peperangan pada bulan-bulan ini. Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Bulan-bulan yang diharamkan (disucikan) itu hanya ada empat. Tiga bulan secara berururtan dan satu bulannya berdiri sendiri (tidak berurutan) lantaran adanya manasik Haji dan Umrah. Maka , ada satu bulan yang telah diharamkan (disucikan) yang letaknya sebelum bulan-bulan Haji, yaitu bulan Dzulqa’dah, karena ketika itu mereka menahan diri dari perang. Sedangkan bulan Dzulhijah diharamkan(disucikan) karena pada bulan ini mereka pergi menunaikan ibadah Haji, dan pada bulan ini mereka menyibukkan diri dengan berbagai ritual manasik Haji. sebulan setelahnya, yaitu bulan Muharram juga disucikan karena pada bulan ini mereka kembali dari Haji ke negeri asal mereka dengan aman dan damai. Adapun bulan Rajab yang terletak di tengah-tengah tahun diharamkan (disucikan) karena orang yang berada di pelosok Jazirah Arabia berziarah ke Baitul Haram. Mereka datang berkunjung ke Baitul Haram dan kembali ke negeri mereka dengan keadaan aman.” (Tafsir Ibni Katsir) Adapun dalil yang terdapat dalam al Qur’an tentang bulan-bulan Hara mini adalah firman Allah Ta’ala: pic6.jpg “Mereka bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:’ Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…’” (QS. Al Baqarah:217) Juga firman Allah: pic7.jpg “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan Haram…” (QS. Al Maidah:2) Al Hafizh Ibnu Katsir menyatakan,”Yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah pemuliaan dan pensucian bulan tersebut dan pengakuan terhadap kemuliaannya serta meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah, seperti memulai peperangan dan penegasan terhadap perintah menjauhi hal yang diharamkan…” (Tafsir Ibnu Katsir) Allah Ta’ala berfirman: pic8.jpg “Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram…”(QS. Al Ma’idah:97) Al Baghawi rahimahullah menuturkan, “Maksudnya bahwa Allah menjadikan bulan-bulan Haram ini sebagai penunaian kewajiban kepada manusia untuk menstabilkan keadaan pada bulan-bulan ini dari peperangan.” (Tafsir Al Baghawi dan Zaadul Masiir). Di dalam ash Shahihahin terdapat hadist dari Abu Bakrah rahimahullah dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam banwa beliau bersabda: “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari empat bulan itu, (jatuh secara) berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga sebagai) syahru Mudhar, terletak diantara Jumada (ats Tsaniyah) dan Sya’ban.” (QS. Bukhari) Sekelompok orang dari generasi salaf berpandangan bahwa hukum diharamkannya peperangan pada bulan-bulan haram ini, adalah tetap dan berlangsung terus-menerus hingga saat ini, karena dalil-dalil terdahulu. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa sesungguhnya larangan memerangi kaum musyrikin pada bulan-bulan haram ini telah terhapus (mansukh) dengan firman Allah Ta’ala : pic9.jpg “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri sendiri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya…” (QS. At Taubah:36) Imam Ibnu Jarir ath Thabari rahimahullah mentarjih ( menguatkan) pendapat terakhir ini (lihat tafsir ath Thabari), sedangkan Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa pendapat yang terakhir ini lebih masyhur (lihat Tafsir Ibni Katsir). BEBERAPA KEBERKAHAN DAN KEUTAMAAN BULAN-BULAN HARAM Telah dijelaskan dimuka mengenai kemuliaan bulan-bulan haram ini atas bulan-bulan lainnya, serta agungnya kesucian bulan-bulan haram ini. Maka sekarang, penulis akan memaparkan beberapa keutamaan dan keberkahan yang terkandung dalam setiap bulan haram (yang disucikan) ini. 1. Bulan Dzulqa’dah Dia merupakan salah satu bulan Haji (asyhurul hajji) yang dijelaskan oleh Allah dalam friman-Nya: pic10.jpg “(Musim) Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi…” (QS.Al Baqarah:197) Asyhurun ma’luumaat (bulan-bulan yang dikenal) merupakan bulan yang tidak sah ihram Haji kecuali pada bulan-bulan ini (asyhurun ma’luumaat) menurut pendapat yang shahih. (lihat Tafsir Ibnu Katsir). Dan yang dimaksud dengan bulan-bulan Haji (asyhurul hajji) adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Diantara keistimewaan bulan ini, bahwa empat kali ‘Umrah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam terjadi pada bulan ini, hal ini tidak termasuk ‘Umrah beliau yang dibarengi dengan Haji, walaupun ketika itu beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berihram pada bulan Dzulqa’dah dan mengerjakan ‘Umrah tersebut di bulan Dzulhijjah bersamaan dengan Hajinya. (Lathaa if al Ma’aarif, karya Ibnu Rajab; Zaadul Ma’aad). Ibnul Qayyim menjelaskan pula bahwa ‘Umrah di bulan-bulan Haji setara dengan pelaksanaan Haji di bulan-bulan Haji. Bulan-bulan haji dikhususkan oleh Allah dengan ibadah Haji, dan Allah menjadikan bulan-bulan ini sebagai waktu pelaksanaannya. Sementara ‘Umran merupakan Haji kecil, maka waktu yang paling utama untuk ‘Umrah adalah pada bulan-bulan Haji. Sedangkan Dzulqa’dah berada di tengah-tengah bulan Haji tersebut. (Zaadul Ma’aad). Karena itu terdapat riwayat dari beberapa ulama Salaf bahwa disukai melakukan ‘Umrah pada bulan Dzulqa’dah. (Lathaa if al Ma’aarif). Akan tetapi ini tidak menunjukkan bahwa ‘Umrah di bulan Dzulqa’dah lebih utama daripada ‘Umrah di bulan Ramadhan. Keistimewaan lain yang dimiliki bulan ini, bahwa masa tiga puluh malam yang Allah janjikan kepada Musa untuk berbicara pada-Nya jatuh pada malam-malam bulan Dzulqa’dah. Sedangkan al asyr (sepuluh malan tambahan)nya jatuh pada periode sepuluh malam dari bulan Dzulhijjah berdasarkan pendapat mayoritas ahli Tafsir. (lihat Tafsir Ibnu Katsir). Sebagaimana firman Allah Ta’ala: pic11.jpg “Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi)…”(QS. Al A’raaf:142) 2. Bulan Dzulhijjah Diantara beberapa keutamaa dan keberkahan bulan ini, bahwa seluruh manasik Haji dilakukan pada bulan ini. Kesemuanya itu merupakan syi’ar-syi’ar yang besar dari berbagai syi’ar Islam. Terdapat di dalamnya, sepuluh hari pertama yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan, lalu tiga hari berikutnya merupakan hari-hari tasyriq yang agung. (sebagaimana yg dijelaskan pada artikel khusus tentang bulan Dzulhijjah, keutaman sepuluh hari pertama Dzulhijjah). 3. Bulan Muharram Di antara keutamaan dan keberkahan bulan ini, sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam bersabda: “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa yang jatuh pada) bulan Allah, (yaitu) Muharram…” (HR. Muslim) Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam menamakan Muharram dengan bulan Allah (syahrullaah). Penisbatan nama bulan ini dengan lafazh ‘Allah’ menunjukkan kemuliaan dan keutamaan bulan ini, karena sesungguhnya Allah tidak menyandarkan (menisbatkan) lafazh tersebut kepada-Nya kecuali karena keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki oleh makhluk-nya tersebut dan seterusnya. (Laatha if al Ma’aarif). Sebagian ulama memberikan alasan yang mengaitkan tentang keutamaan puasa pada bulan ini. Maksudnya, bahwa sebaik-baik bulan untuk melakukan puasa sunnat secara penuh setelah bulan Ramadhan, adalah Muharram. Karena berpuasa sunnat pada sebagian hari, seperti hari ‘Arafah atau enam hari di bulan Syawal lebih utama (afdhal) daripada berpuasa pada sebagian hari-hari bulan Muharram. (Laatha if al Ma’aarif) Diantara keberkahan bulan Muharram berikutnya, jatuh pada hari kesepuluh, yaitu hari ‘Asyura. Hari ‘Asyura ini merupakan hari yang mulia dan penuh berkah. Hari ‘Asyura ini memiliki kesucian dan kemuliaan sejak dahulu. Dimana pada hari ‘Asyura ini Allah Ta’ala menyelamatkan seorang hamba sekaligus Nabi-Nya, Musa ‘Alaihis Salam dan kaumnya serta menenggelamkan musuhnya, Fir’aun dan bala tentaranya. Sesungguhnya Nabi Musa ‘Alaihis Salam berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukurnya kepada Allah. Sedangkan orang-orang Quraisy di zaman Jahilliyah juga berpuasa pada hari ini, begitu juga Yahudi. Mereka dulu berpuasa pada hari ‘Asyura. Berdasarkan pendapat kebanyakan ulama, puasa ini pada mulanya wajib bagi kaum muslimin sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, kemudian (berubah) menjadi sunnah. Sebagaimana yang tedapat dalam ash Shahihain dari ‘Aisyah radhiallahu anha, ia berkata: “Dahulu orang-orang Quraisy berpuasa ‘Asyura pada zaman Jahilliyah. Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam sendiri juga berpuasa ‘Asyura. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau terus melaksanakan puasa ‘Asyura, dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. Lalu ketika diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan, beliau bersabda:’Barangsiapa yang mau berpuasa ‘Asyura, berpuasalah dan barangsiapa yang ingin meninggalkannya, tinggalkanlah.’” (HR. Bukhari dan Muslim) Dan juga tertera dalam ash Shahihahin dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam datang ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam bertanya pada mereka, “Hari apakah ini, yang kalian berpuasa di dalamnya?” Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang agung, pada hari inilah Allah menyelamatkan Musa ‘Alaihis Salam dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya. Maka Musa berpuasa pada hari ‘Asyura ini sebagai tanda syukurnya.” Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam bersabda: “Maka, kami lebih berhak terhadap Musa ‘Alaihis Salam dan lebih diutamakan daripada kamu sekalian.” Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin agar berpuasa. (HR. Bukhari dan Muslim) Dan puasa pada hari ini memiliki keutamaan yang besar, dimana puasa ini dapat meleburkan dosa-dosa setahun yang lalu, sebagaimana tertera dalam Shahih Muslim, dari Abu Qatadah al Anshari radhiallahu anhu. Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bersabda, “Dia akan menggugurkan (dosa-dosa) setahun yang lalu.” (HR. Muslm) Sebagian ulama berpendapat sunnah berpuasa pada hari kesembilan bersamaan dengan hari kesepuluh karena Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat akan berpuasa pada hari kesembilan. Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Barangkali sebab dari puasa dua hari ini agar tidak tasyabbuh (serupa) dengan Yahudi yang berpuasa hanya di hari kesepuluh.” (Syarhun Nawawi li Shahih Muslim) Tidak ada lagi yang disyari’atkan pada hari ‘Asyura ini selain puasa. Namun sebagian orang mengada-adakan perkara baru (bid’ah) yang tidak ada dasarnya sama sekali, atau hanya bersandar pada hadits-hadits maudhu’ (palsu) atau hadits-hadits dha’if (lemah). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa perkara mungkar, yang diada-adakan oleh ahlul ahwaa’ (pengikut hawa nafsu), yaitu kaum Rafidhah yang pada hari ‘Asyura pura-pura haus dan sedih, serta perkara-perkara baru lainnya yang tidak disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan tidak pula dilakukan oleh seorang pun dari generasi Salaf dan dari ahli Bait Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam maupun dari yang lainnya. Sesungguhnya musibah terbunuhnya al Husain bin Ali bin Abu Thalib pada hari ‘Asyura ini, wajib disikapi seperti penyiikapan terhadap berbagai musibah dengan mengembalikannya kepada penyikapan yang disyari’atkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa sebagian orang mengada-adakan perkara baru (bid’ah) dalam masalah ini dengan bersandar pada hadits-hadits palsu yang tidak berdasar seperti fadhilah mandi pada hari ‘Asyura, bercelak atau berjabat tangan, atau menampakkan rasa senang dan bahagia, dan meluaskan nafkahnya pada hari itu. (lihat Iqtidhaa-ush Shiraathil Mustaqiim li Mukhaalafatil Ash haabil Jahiim). 4. Bulan Rajab Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam memasuki bulan Rajab beliau berdo’a: “Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik). Setelah menelaah hadist ini, Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan,” Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam tentang fadhilah bulan Rajab di hadits-hadits yang lain. Bahkan kebanyakan hadits yang tersebar tentang keutamaan bulan Rajab ini yang disandarkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam adalah dusta…”(Iqtidhaa-ush Shiraatil Mustaqiim). Ahlul bid’ah telah memalsukan banyak hadits tentang keutamaan bulan yang disucikan ini, dan juga tentang kekhususan sebagian ibadah yang dilakukan pada bulan ini, seperti shalat dan puasa. Dan diantara orang yang mengingatkan hal ini adalah al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah dalam risalahnya, Tabyiinul ‘Ajab bi Maa Warada fii Fadhli Rajab. Dalam risalah ini beliau menjelaskan, “Tidak muncul satupun hadits shahih tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula tentang puasanya, tidak tentang puasa tertentu, dan tidak juga tentang mendirikan shalat malam tertentu di bulan ini yang dikuatkan oleh sebuah hadits yang layak untuk dijadikan sebagai hujjah.” (Risaalah Tabyiin al ‘Ajab). Kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits yang meriwayatkan hal ini dan menjelaskan hukum-hukum dari hadits tersebut. Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan: “ Tidak benar bahwa di dalam bulan Rajab terdapat shalat tertentu yang khusus untuk bulan ini saja.” Lalu dia mengatakan, “ Tidak benar dalam keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus terdapat satu riwayat dari Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam dan para Sahabatnya.” (Laathaa iful Ma’aarif). Karena itu kebanyakan ulama Salaf membenci pengkhususan bulan Rajab dengan puasa. Abu Bakat ath Thurthusi telah merinci masalah ini dengan mengatakan:”Shaumnya seseorang (yang dikhususkan) pada bulan ini dimakruhkan dari tiga segi, di antaranya bahwa pengkhususan kaum muslimin dengan puasa setiap tahunnya (pada bulan ini) akan menyebabkan orang-orang awam mengira bahwa hal itu adalah fardhu seperti halnya Ramadhan, atau mereka akan mengira bahwa hal itu adalah sunnah yang tetap. dikhususkan oleh Rasul Shalallahu ‘Alahi Wassalam dengan shaum rutin, atau shaum yang didalamnya dikhususkan dengan keutamaan pahala atas seluruh bulan…” Kemudian beliau mengatakan,”Jika ditinjau dari bab keutamaan-keutamaan Sunnah Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam atau dari prakteknya, tidak wajib dan tidak pula sunnah menurut kesepakatan dan tidak ada lagi anjuran melakukan puasa melainkan puasa yang sudah ditentukan.” Adapun ‘Umrah di bulan Rajab telah disebutkan oleh Ibnu Rajab bahwa “umrah dibulan Rajab itu adalah hukumnya sunnah menurut pendapat mayoritas generasi Salaf. Diantaranya ‘umar bin Khaththab radhiallahu anhu dan ‘Aisyah radhiallahu anha. (lihat Laathaa-iful Ma’aarif)

Sabtu, 15 September 2012

DZULHIJJAH

Keutamaan Bulan Dzulhijjah Keutamaan Bulan Dzulhijjah Tujuan * Peserta memahami arti penting dari bulan Dzulhijjah * Peserta mengetahui amalan-amalan yang utama di bulan Dzulhijjah * Peserta termotivasi untuk melaksanakan amalan-amalan utama bulan Dzulhijjah Pertanyaan awal Bulan Dzulhijjah merupakan bulan yang mulia bagi umat Islam. Lalu apa saja amal-amal utama untuk mengisi bulan Dzulhijjah? Pembahasan 1. Bulan Dzulhijjah adalah salah satu dari Asyhurul Hurum (bulan-bulan haram). Bulan Dzulhijjah yang merupakan bulan terakhir dalam tahun Hijriah adalah salah satu dari Asyhurul Hurum (bulan-bulan haram), yang manusia dilarang (diharamkan) untuk memulai peperangan, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram.” (QS. Al Maa’idah: 2) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga yang awal adalah DzulQa’dah, DzulHijjah, dan Muharram. Sedangkan Rajab yang penuh kemuliaan antara dua Jumadil dan Sya’ban.” (HR. Bukhari) Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa tiga bulan haram yang berurutan (yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram) terkait dengan pelaksanaan ibadah haji; mulai dari persiapan, pengkondisian, serta perjalanan berangkat dan pulang. Sementara bulan Rajab yang terletak di tengah-tengah tahun, diharamkan (disucikan) karena saat itu (pertengahan tahun) sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang yang berada di pelosok Jazirah Arabia untuk berziarah ke Masjidil Haram. Di dalam bulan-bulan haram, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak taubat, menjauhi segala bentuk maksiat dan dosa, serta memperbanyak amal shalih (bukan hanya yang fardhu saja, melainkan juga amal-amal sunah). 2. Melaksanakan ibadah haji dan umrah. Haji adalah amal yang paling utama di bulan Dzulhijjah. Tidak ada haji selain di bulan Dzulhijjah. Haji merupakan syiar agung Islam dan sebuah perjalanan ibadah yang penuh dengan pelajaran. “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” (QS. Al Hajj: 27 - 28) Ka’bah bukanlah sembahan, melainkan arah hadap untuk mempersatukan umat Islam. “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Allah) Pemilik rumah (Ka’bah) ini.” (QS. Quraisy: 3) Sedangkan Hajar Aswad (batu hitam di salah satu sudut Ka’bah) adalah lokasi yang menjadi penanda tempat memulai dan mengakhiri thawaf. Umar bin Khatthab ketika hendak mencium Hajar Aswad, berkata: “Sungguh aku tahu kamu hanyalah batu yang tidak dapat memberi manfaat dan mudarat. Kalaulah sekiranya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, pasti aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibadah haji dibangun di atas asas mentauhidkan Allah dan membasmi kesyirikan, yaitu ketika Allah Ta’ala menunjukkan kepada Nabi Ibrahim lokasi untuk membangun Ka’bah. “Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku, dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud”.” (QS. Al Hajj: 26) Masjidil Haram (beserta Ka’bah dan Hajar Aswad) hanyalah lokasi yang dipilih oleh Allah Yang Maha Mulia untuk mempersatukan umat Islam. Kecintaan Rasulullah terhadap lokasi tersebut (seperti saat beliau mencium Hajar Aswad) merupakan kecintaan terhadap pilihan Allah Ta’ala. 3. Anjuran memperbanyak ibadah pada sepuluh hari pertama (1-10 Dzulhijjah). Dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Nabi bersabda: “Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu sepuluh hari (awal) dari bulan Dzulhijjah.” Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab: “Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari) Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang paling afdhal. Maka hendaklah kita memperbanyak amal shalih pada hari-hari ini; baik berupa shalat, puasa, sedekah, silaturahim, zikir dan baca Al Qur`an, berdoa, thalabul ilmi, dan amal-amal shalih lainnya. Dari Umar, bahwa Nabi bersabda: “Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (awal Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad) Di antara amalan yang disyariatkan untuk diperbanyak ketika memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah mengucapkan takbir. Ibadah ini masih terus berlanjut hingga akhir hari-hari Tasyriq. Imam Bukhari menjelaskan bahwa Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah pernah keluar ke pasar, mereka berdua bertakbir, maka orang-orang di pasar pun ikut bertakbir. Ada dua macam takbir yang disyariatkan pada hari-hari tersebut; yaitu Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad. Takbir Muthlaq dilakukan sejak masuknya bulan Dzulhijjah sampai akhir hari Tasyriq. Adapun pelaksanaannya adalah setiap waktu, tidak hanya setiap selesai shalat fardhu. Sedangkan Takbir Muqayyad dilakukan setiap selesai shalat fardhu, dimulai sejak shalat shubuh hari ‘Arafah sampai seusai shalat ‘Ashr hari Tasyriq yang terakhir. Jadi pensyariatannya terikat (muqayyad) dengan shalat. Diriwayatkan bahwa para tabiin pada hari-hari itu mengucapkan: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, Walllahu Akbar, Allahu Akbar Wa Lillahil Hamdu.” Artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada ilah (sembahan) selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah. Dianjurkan mengeraskan suara saat bertakbir baik ketika di masjid, rumah, pasar, atau di jalan. 4. Puasa sunah Arafah (9 Dzulhijjah). Dari Abu Qatadah, bahwa Nabi bersabda: “Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah (dapat) melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya.” (HR. Muslim) Imam Nawawi rahimahullaah dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan bahwa puasa ‘Arafah dapat menggugurkan dosa-dosa pelakunya selama dua tahun. Dan yang dimaksud dosa di sini adalah dosa-dosa kecil. Kalau tidak memiliki dosa kecil, diharapkan bisa meringankan beban dari dosa besarnya. Jika tidak, maka diharapkan dapat mengangkat derajat orang yang berpuasa tersebut. Hari Arafah merupakan puncak pelaksanaan manasik haji, yaitu wukuf di padang Arafah. Pada saat itulah Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa memuji dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat-Nya. Dan pada hari itulah, banyak hamba-hamba Allah yang dibebaskan dari api neraka. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka yang lebih banyak daripada hari Arafah, dan sesungguhnya Allah akan mendekat dan kemudian membanggakan mereka di hadapan para malaikat dan berfirman: ‘apa yang mereka inginkan?’ (maksudnya menunjukkan bahwa mereka menunaikan ibadah haji semata-mata karena mencari ridha Allah Ta’ala)” (HR. Muslim) Umat Islam yang tidak sedang menunaikan ibadah haji pun berkesempatan untuk mendapatkan keutamaan dan pahala yang besar di hari itu, yaitu dengan berpuasa sunah Arafah. Sedangkan puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) tidaklah memiliki dalil yang shahih. Hadits-hadits mengenai keutamaan hari tarwiyah adalah hadits maudlu’ (palsu) yang tidak bisa dijadikan dalil. Namun tidak dilarang untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah dengan niat memperbanyak ibadah pada sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah, karena memang sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah dianjurkan untuk memperbanyak ibadah. Sehingga yang dilarang ialah menganggap adanya keutamaan khusus pada hari Tarwiyah untuk berpuasa, yang ada ialah keutamaan pada sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah (namun tanggal 10 Dzulhijjah dilarang untuk berpuasa). “Dua hari ini adalah hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang untuk berpuasa di dalamnya. Yaitu Idul Fithri, hari di mana kalian berbuka dari puasa (Ramadhan) kalian. Begitu pula beliau melarang berpuasa pada hari lainnya, yaitu Idul Adha di mana kalian memakan hasil kurban kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim) 5. Melaksanakan shalat ‘Idul Adha dan mendengarkan khutbahnya. Tanggal 10 Dzulhijjah adalah hari raya ‘Idul Adha. Inilah hari haji akbar di mana rangkaian manasik haji paling banyak dilaksanakan pada hari ini. Disebut juga dengan Hari Nahr karena pada hari inilah dimulainya pelaksanaan Nahr (penyembelihan) terhadap hewan kurban dan hewan hadyu (bagi jama’ah haji). Pada hari ini diwajibkan bagi kaum muslimin yang tidak melaksanakan ibadah haji untuk menegakkan shalat ‘Idul Adha. Bahkan anak-anak dan wanita-wanita yang sedang haidh pun diperintahkan Nabi untuk hadir bersama jama’ah shalat ied di tanah lapang untuk mendengarkan khutbah. Dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘Ied (Idul Fithri maupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.” (HR. Muslim) Sangat dianjurkan bagi kaum muslimin yang hendak menunaikan shalat ‘Ied untuk mandi dan mengenakan pakaian yang paling baik sesuai dengan aturan syar’i dalam berpakaian. Bagi laki-laki sangat disukai untuk memakai wewangian, namun tidak bagi wanita. Shalat ‘Idul Adha disunnahkan untuk disegerakan pelaksanaannya agar kaum muslimin bisa bersegera menyembelih hewan kurbannya. Disunnahkan pula untuk tidak makan terlebih dulu sebelum shalat ‘Ied. Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘Ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘Ied.” (HR. Ahmad) Sepulang dari shalat ‘Ied, disunnahkan untuk melalui jalan yang berbeda dengan jalan yang dilalui ketika berangkat. Kemudian bagi yang berkurban, hendaknya bersegera menyembelih hewan kurbannya. 6. Berkurban. Ibadah qurban pertama kali dilakukan oleh putra-putra Nabi Adam alaihis salam (lihat QS. Al Maa’idah: 27). Ibadah qurban yang paling terkenal adalah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim alaihis salam yang hendak mengorbankan putranya, yaitu Nabi Ismail (lihat QS. Ash Shaaffaat: 100 - 108). Hukum qurban adalah sunnah muakkadah bagi yang mampu. “Nabi berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hewan-hewan yang sah untuk dikurban adalah unta dan sapi (termasuk kerbau) untuk tujuh orang, dan kambing (termasuk domba) untuk satu orang. Hewan yang hendak dikurbankan tersebut tidak boleh memiliki cacat yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebutkan: “Empat hewan yang tidak sah untuk dikurban; Buta sebelah yang jelas-jelas butanya. Sakit yang jelas-jelas sakitnya. Pincang yang jelas-jelas pincangnya. Dan lemah atau kurus yang jelas-jelas lemah atau kurusnya.” (HR. Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad) Dilarang mencabut atau memotong rambut dan kuku bagi orang yang hendak berkurban. Dari Ummu Salamah, bahwa Nabi bersabda: “Jika kamu melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya sehingga ia berkurban.” (HR. Muslim) Hewan kurban hanya boleh disembelih setelah selesai Shalat ‘Idul Adha sampai dengan hari-hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya hal pertama yang kami mulai di hari kita ini adalah shalat, kemudian pulang dan menyembelih. Maka barangsiapa yang melakukan ini maka dia telah menepati sunnah kami. Namun barangsiapa yang telah menyembelih (sebelum shalat ‘Ied), sesungguhnya apa yang disembelihnya itu hanya daging biasa untuk keluarganya, dan bukan termasuk hewan kurban sedikitpun.” (HR. Bukhari) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada setiap hari-hari Tasyriq ada sembelihan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban) Para ulama umumnya menyebutkan bahwa pembagian daging kurban sebaiknya sepertiga dimakan oleh pihak yang berkurban; sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun hal ini bukanlah suatu keharusan. Jika semuanya disedekahkan kepada fakir miskin maka itu boleh. Namun tidak dibolehkan untuk mengambil semua daging kurban tersebut untuk diri sendiri. “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj: 28) Dari Salamah bin Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa di antara kalian yang berkurban, maka janganlah dia menyisakan dari dagingnya setelah tiga hari.” Kemudian pada tahun berikutnya, para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah kami harus melakukan lagi seperti pada tahun kemarin?” Beliau menjawab: “Makanlah, sedekahkanlah, dan simpanlah. Adapun pada tahun kemarin itu karena orang-orang mengalami kesusahan. Karenanya aku ingin kalian memberikan bantuan.” (HR. Bukhari dan Muslim) 7. Hari Tasyriq. Hari Tasyriq adalah tiga hari setelah Hari Nahr; yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa dinamakan hari Tasyriq karena pada hari-hari itu orang-orang melakukan tasyriq (mendendeng) daging kurban dan menjemurnya di terik matahari. Disunnahkan pada hari-hari ini untuk memperbanyak zikir kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. AlBaqarah: 203) Abdullah bin Abbas radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Yang dimaksud dengan ‘beberapa hari yang berbilang’ pada ayat tersebut adalah hari-hari tasyriq.” (Tafsir Ibnu Katsir) Pada asalnya, berzikir adalah suatu amalan yang dituntunkan untuk dilakukan setiap saat, kapanpun dan di manapun. Namun ketika Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa memerintahkan berzikir khusus pada hari-hari tasyriq, maka hal ini menunjukkan bahwa berzikir pada hari-hari itu memiliki nilai dan keutamaan yang lebih. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk menikmati makanan dan minuman, serta hari-hari untuk berzikir kepada Allah Ta’ala.” (HR. Muslim) Hadits di atas juga menunjukkan larangan berpuasa pada hari Tasyriq. Kecuali bagi jamaah haji (tamattu’ dan qiran) yang tidak memiliki hewan hadyu untuk disembelih, maka boleh bagi mereka berpuasa pada hari-hari itu, sebagai denda karena tidak menyembelih hewan hadyu. “Tetapi jika ia tidak mendapatkan (hewan hadyu atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali.” (QS. Al Baqarah: 196) Sehingga bagi kaum mukminin, hari-hari Tasyriq merupakan hari yang terkumpul padanya dua kenikmatan, yaitu kenikmatan badan (lahir) dan kenikmatan batin (hati). Kenikmatan badan dengan diberikannya kesempatan untuk menikmati makanan dan minuman (terutama daging kurban) karena hari itu termasuk waktu yang terlarang untuk berpuasa. Sedangkan kenikmatan hati adalah dengan banyak berzikir kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. “Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d: 28) Kesimpulan Allah Ta’ala telah membuka banyak pintu kebaikan dalam bulan Dzulhijjah. Pada bulan ini umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak taubat, mendekatkan diri pada Allah Ta’ala, berbagi dengan sesama, dan menyebarkan syi’ar-syi’ar Islam. Puncak keutamaan di bulan Dzulhijjah adalah ibadah haji yang merupakan rukun Islam yang kelima. Jutaan umat Islam dari berbagai belahan dunia berkumpul di Masjidil Haram, tanpa tersekat oleh kesukuan dan status sosial.

Keutamaan dan Amalan di Bulan Dzul Qa`idah

Bulan Dzul Qa`idah adalah awal bulan haji yang kemuliaannya disebutkan oleh Allah swt dalam kitab-Nya yang mulia.

Sayyid Ibnu Thawus meriwayatakan bahwa bulan Dzul Qa`idah adalah bulan diijabahnya doa, khususnya bagi orang yang sedang kesulitan.

Tentang keutamaan bulan Dzul-Qaidah, Rasullullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan shalat sunnah di dalamnya, maka taubatnya diterima, dosa-dosanya diampuni, musuh-musuhnya ridha pada hari Kiamat, matinya dalam keadaan beriman, agamanya tidak dicabut darinya, kuburnya diluaskan dan diterangkan, kedua orang tuanya diridhai dan dosa mereka diampuni oleh Allah, rizkinya diluaskan, sakrakatul mautnya dikasihi oleh Malaikat dan ruhnya dicabut dari jasadnya dengan mudah.”

Amalan di Bulan Dzul-Qaidah
Bagi yang ingin memperoleh keutamaan bulan ini, hendaknya mandi sunnah pada hari pertama, kemudian berwudhu’ dan melakukan shalat sunnah empat rakaat (2 kali salam). Caranya: setiap rakaat sesudah Fatihah, membaca Surat Al-Ikhlas (3 kali), An-Nas (3 kali) dan Al-Falaq (sekali). Sesudah shalat membaca Istighfar (70 kali), kemudian membaca:

لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Lâ Hawla walâ quwwata illâ billâhil ‘aliyil ‘azhîm.
Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

يَاعَزِيْزُ يَاغَفَّارُ اِغْفِرْلِي ذُنُوْبِى وَذُنُوْبَ جَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. فَإِنَّهُ لاَيَغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلاَّ اَنْتَ
Yâ `Azîzu yâ Ghaffâru, ighfirlî dzunûbî wa dzunûba jamî`il mu’mîna wal mu’minât. Fainnahu lâ yaghfirudz dzunûba illâ Anta.
.
Wahai Yang Maha Mulia, wahai Yang Maha Pengampun, ampuni dosa-dosaku dan dosa-dosa mukminin dan mukminat, tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.

Dalam suatu riwayat disebutkan: “Barangsiapa berpuasa pada bulan yang mulia ini tiga hari: Kamis, Jum’at, dan Sabtu, Allah mencatat baginya seperti beribadah sembilan ratus tahun.”

Syeikh Ali bin Ibrahim berkata: Sungguh pada bulan-bulan yang mulia keburukan dilipatgandakan demikian juga kebaikan. Tanggal 11 Dzul Qaidah 148 H adalah hari kelahiran Imam Ali Ar-Ridha (sa). Malam tanggal 15 Dzul Qa`idah adalah malam yang penuh barakah, malam Allah memandang hamba-hamba-Nya yang mukmin dengan rahmat-Nya, memberi seratus pahala kepada orang yang beramal dalam ketaatan kepada Allah, juga kepada orang yang berpuasa yang hatinya selalu terkait dengan masjid dan matanya tidak bermaksiat kepada Allah, khususnya di dalam masjid Nabawi. Karena itu, hendaknya menghidupkan malam itu dengan ibadah, ketaatan, shalat dan memohon hajat-hajat Anda kepada Allah swt.

Dalam suatu riwayat juga disebutkan: “Barangsiapa yang memohon hajatnya kepada Allah pada malam ini, Allah akan memberi hajat yang dimohonnya.”

Tanggal 23 Dzul Qaidah tahun 200 H adalah hari wafatnya Imam Ali Ar-Ridha (sa). Sebagian ulama berkata: Pada hari ini disunnahkan berziarah kepada Imam Ar-Ridha (sa) dari dekat atau dari kejauhan. Sayyid Ibnu Thawus berkata di dalam kitabnya Al-Iqbal: Aku temui dalam sebagian kitab-kitab sahabat-sahabat kami (semoga Allah merahmati mereka): Pada hari ini, tanggal 23 Dzul Qaidah disunnahkan berziarah kepada Imam Ali Ar-Ridha (sa) dari dekat atau dari kejauhan.

Tanggal 25 Dzul Qa`idah dan Amalannya
Malam Tanggal 25 Dzul Qaidah adalah malam bumi dibentangkan dari bawah Ka’bah di atas air. Malam ini adalah malam yang mulia, malam diturunkannya rahmat Allah swt. Barangsiapa yang bangun malam untuk beribadah, ia akan memperoleh pahala yang tak terhingga.

Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali Al-Wasysya’, ia berkata: Pada suatu ketika aku bersama ayahku, ketika itu aku masih kecil, kemudian kami makan malam di dekat makam Imam Ali Ar-Ridha (sa), malam itu adalah malam tanggal 25 Dzul-Qaidah, ia berkata kepadanya: malam 25 Dzul-Qaidah adalah malam kelahiran Nabi Ibrahim (as) dan Nabi Isa (as), malam ini adalah malam dibentangkannya bumi dari bawah Ka’bah. Barangsiapa yang berpuasa pada hari ini, nilainya sama dengan berpuasa 60 bulan.

Hari ke 25 adalah hari dibentangkannya bumi. Hari ini adalah termasuk hari yang empat, yang utama dan istimewa untuk berpuasa setiap tahun. Hari ini adalah hari Allah swt menebarkan rahmat-Nya, hari beribadah dan berkumpul untuk berdzikir kepada Allah, dan pahalanya sangat besar.

Dalam riwayat yang lain juga dikatakan bahwa selain puasa, ibadah, dzikir dan mandi, ada dua lagi amalan, yaitu:

Pertama: Melakukan shalat sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Ahlul bait (sa). Yaitu, shalat dua rakaat pada waktu Dhuha. Caranya, setelah Fatihah membaca surat Asy-Syams (5 kali), dan setelah salam membaca:

لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâhil ‘Aliyil ‘Azhîm.

Kemudian membaca doa:
بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على محمد وآل محمد
يَامُقِيْلَ الْعَثَرَاتِ اَقِـلْنِى عَثْرَتِى. يَامُجِيْبَ الدَّعَوَاتِ اَجِبْ دَعْوَتِى. يَاسَامِعَ اْلاَصْوَاتِ اِسْمَعْ صَوْتِى. وَارْحَمْنِي وَتَجَاوَزْ عَنْ سَيِّئَاتِي وَمَاعِنْدِى يَاذَالْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ


Bismillâhir Rahmânir Rahîm
Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad


Yâ Muqîlal ‘atsarati aqilnî ‘atsratî. Yâ Mujîbad da`awâti ajib da`watî. Yâ Samî’al ashwati isma’ shawtî warhamni wa tajâwaz `an sayyiâti wa mâ ‘indî yâ Dzal jalâli wal ikrâm.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya

Wahai Yang Mengampuni dosa-dosa, ampuni dosaku. Wahai Yang Memperkenankan setiap doa, perkenankan doaku. Wahai Yang Mendengar semua suara, dengarlah suaraku, kasihanilah daku, dan ampunilah kejelekan-kejelekanku, wahai Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.

Kedua: disunnahkan membaca doa berikut:

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على محمد وآل محمد

Bismillâhir Rahmânir Rahîm
Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya

اَللّهُمَّ داحِيَ الْكَعْبَةِ، وَفالِقَ الْحَبَّةِ، وَصارِفَ اللَّزْبَةِ، وَكاشِفَ كُلِّ كُرْبَة، اَسْاَلُكَ في هذَا الْيَوْمِ مِنْ اَيّامِكَ الَّتي اَعْظَمْتَ حَقَّها، وَاَقْدَمْتَ سَبْقَها، وَجَعَلْتَها عِنْدَ الْمُؤْمِنينَ وَديعَةً، وَاِلَيْكَ ذَريعَةً، وَبِرَحْمَتِكَ الْوَسيعَةِ اَنْ تُصَلِّيَ عَلى مُحَمَّد عَبْدِكَ الْمُنْتَجَبِ فِى الْميثاقِ الْقَريبِ يَوْمَ التَّلاقِ، فاتِقِ كُلِّ رَتْق، وَداع اِلى كُلِّ حَقِّ، وَعَلى اَهْلِ بَيْتِهِ الاَْطْهارِ الْهُداةِ الْمَنارِ دَعائِمِ الْجَبّارِ، وَوُلاةِ الْجَنَّةِ وَالنّارِ

Allâhumma dâhiyal ka’bati wa fâliqal habbati wa sharifal lazbati wakâsyifa kulli kurbatin. As-aluka fî hâdzal yawmi min ayyâmika. Allatî a’zhamta haqqahâ wa aqdamta sabqahâ. Wa ja’altahâ ‘indal mu’minîna wadî’atan. Wa ilayka dzarî’atan. Wa birahmatikal wasî’ati an tushalliya `alâ muhammadin `abdikal muntajabi fil mîtsâqil qarîbi, yawmat talâq. Fâtiqi kulli ratqin, wa dâ’in ilâ kulli haqqin. Wa `alâ ahli baytihil athhâr alhudâtil manâri, da`âimil jabbâr wa wulâtil jannati wan nâri.

Ya Allah, wahai Yang Membentangkan Ka’bah, wahai Yang Membelah biji-bijian, wahai Yang merubah kekuatan, wahai Yang Menghilangkan setiap derita. Aku memohon kepada-Mu pada hari ini, yaitu hari di antara hari-hari-Mu yang Kau muliakan haknya, yang Kau dahulukan keagungannya, yang Kaujadikan bagi orang-orang yang beriman sebagai titipan, dan wasilah kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang luas. Sampaikan shalawat kepada Muhammad, hamba-Mu yang mulia dalam Perjanjian yang dekat pada hari kiamat, hamba-Mu, pembuka setiap kemaslahatan, dan penyeru kebenaran; sampaikan juga shalawat itu kepada keluarganya yang suci, pembimbing pada cahaya, kepercayaan Zat Yang Maha Perkasa, pemegang kunci surga dan neraka.

وَاَعْطِنا في يَوْمِنا هذا مِنْ عَطائِكَ الَْمخْزوُنِ غَيْرَ مَقْطوُع وَلا مَمْنوُع، تَجْمَعُ لَنا بِهِ التَّوْبَةَ وَحُسْنَ الاَْوْبَةِ، يا خَيْرَ مَدْعُوٍّ، وَاَكْرَمُ مَرْجُوٍّ، يا كَفِيُّ يا وَفِيُّ

Wa a’thinâ fî yawminâ hâdzâ min `athâikal makhzûni ghayri maqthû’in walâ mamnû`in. Tajma`u lanâ bihit tawbata wa husnal awbah. Yâ Khayra mad`uwwin wa Akrama marjuwwin, yâ Kafiyyu yâ Wafiyyu.

Pada hari yang agung ini anugrahkan kepada kami karunia-karuniaMu yang tersimpan, yang tak terputus dan tak terhalangi, sehingga dengannya Kau himpunkan bagi kami taubat dan kebaikan penyesalan. Wahai Tumpuan Yang Terbaik, wahai Harapan Yang Termulia, wahai Yang Maha Mencukupi, wahai Yang Maha Menepati janji-Nya,

يا مَنْ لُطْفُهُ خَفِيٌّ اُلْطُفْ لي بِلُطْفِكَ، وَاَسْعِدْني بِعَفْوِكَ، وَاَيِّدْني بِنَصْرِكَ، وَلا تُنْسِني كَريمَ ذِكْرِكَ بِوُلاةِ اَمْرِكَ، وَحَفَظَةِ سِرِّكَ، وَاحْفَظْني مِنْ شَوائِبِ الدَّهْرِ اِلى يَوْمِ الْحَشْرِ وَالنَّشْرِ، وَاَشْهِدْني اَوْلِياءِكَ عِنْدَ خُرُوجِ نَفْسي، وَحُلُولِ رَمْسي، وَانْقِطاعِ عَمَلي، وَانْقِضاءِ اَجَلي
Yâ Man luthfuhu khafiyyun ulthuf lî biluthfika. Wa as`idnî bi’afwika. Wa ayyidnî binashrika. Walâ tansanî karîma dzikrika biwulâti amrika wa hafazhati sirrika. Wa ashidnî min syawâyibid duhûri ilâ yawmil hasyri wan nasyri. Wa asyhidnî awliyâika `inda khurûji nafsî wahulûli ramsî wanqithâ`i `amalî wanqidhâi ajalî.

Wahai Yang karunia-Nya tersembunyi, anugrahkan padaku karunia-Mu dengan kelembutan-Mu. Tolonglah daku dengan ampunan-Mu. Kokohkan aku dengan pertolongan-Mu. Jangan lupakan daku pada kemuliaan sebutan-Mu dengan menjalankan perintah-Mu dan memelihara rahasia-Mu. Lindungi daku dari keburukan-keburukan zaman hingga hari kiamat. Perlihatkan padaku para kekasih-Mu saat kematian menjemputku, saat kuburku telah disiapkan, saat amalku diputuskan dan ajalku ditetapkan.

اَللّهُمَّ وَاذْكُرْني عَلى طُولِ الْبِلى اِذا حَلَلْتُ بَيْنَ اَطْباقِ الثَّرى، وَنَسِيَنِى النّاسُونَ مِنَ الْوَرى، وَاحْلِلْني دارَ الْمُقامَةِ، وَبَوِّئْني مَنْزِلَ الْكَرامَةِ، وَاجْعَلْني مِنْ مُرافِقي اَوْلِيائِكَ وَاَهْلِ اجْتِبائِكَ وَاصْطَفائِكَ، وَباركْ لي في لِقائِكَ، وَارْزُقْني حُسْنَ الْعَمَلِ قَبْلَ حُلُولِ الاَْجَلِ، بَريئاً مِنَ الزَّلَلِ وَسوُءِ الْخَطَلِ
Allâhumma wadzkurnî ‘alâ thûlil bilâ. Idzâ halalta bayna atbâqits tsarâ, wa nasiyanin nâsûna minal warâ. Wa ahlinî dâral muqâmati, wa bawwi`nîmanzilal karâmati. Waj’alnî min murâfiqi awliyâika wa ahliahibbâika washthifâika. Wa bâriklî fî Liqâika. Warzuqni husnal amali qabla hulûlil ajali barîan minaz zalali wa sûil khathali.

Ya Allah, ingatkan aku pada cobaan yang panjang masanya ketika Kau anugerahkan padaku kekayaan, saat dan manusia melupakanku. Tempatkan daku di tempat yang mulia. Jadikan aku sahabat para kekasih-Mu dan keluarga kekasih-Mu dan pilihan-Mu.
Berkahi daku dalam perjumpaan dengan-Mu. Anugerahi daku amal yang terbaik sebelum ajal menjemputku, Sucikan daku dari segala dosa dan perbuatan yang hina.

اَللّهُمَّ وَاَوْرِدْني حَوْضَ نَبِيِّكَ مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ، وَاسْقِني مِنْهُ مَشْرَباً رَوِيّاً سائِغاً هَنيئاً لا اَظْمَأُ بَعْدَهُ وَلا اُحَلاَُّ وِرْدَهُ وَلا عَنْهُ اُذادُ، وَاجْعَلْهُ لي خَيْرَ زاد، وَاَوْفى ميعاد يَوْمَ يَقُومُ الاَْشْهادُ
Allâhumma wa awwridnî hawdha nabiyyika Muhammadin shallallâhu ‘alayhi wa âlihi. Wasqinî minhu masyraban rawiyyan sâighan hanîan lâ azhmau ba’dahu walâ uhallau wirdahu walâ ‘anhu udzâd. Waj’alhulî khayra zâdin wawfâ mî`âdin yawma yaqûmul asyhâd.

Ya Allah, bawalah daku ke telaga Nabi-Mu Muhammad saw. Berilah daku dari telaganya minuman yang segar, yang tak akan haus lagi sesudahnya, dan selalu rindu untuk kembali padanya. Karuniakan padaku sebaik-baik bekal saat janji-Mu ditegakkan dan para saksi di hadapkan.

اَللّهُمَّ وَالْعَنْ جَبابِرَةَ الاَْوَّلينَ وَالاْخِرينَ، وَبِحُقُوقِ اَوْلِيائِكَ الْمُسْتَأثِرِينَ اَللّهُمَّ وَاقْصِمْ دَعائِمَهُمْ وَاَهْلِكْ اَشْياعَهُمْ وَعامِلَهُمْ، وَعَجِّلْ مَهالِكَهُمْ، وَاسْلُبْهُمْ مَمالِكَهُمْ، وَضَيِّقْ عَلَيْهِمْ مَسالِكَهُمْ، وَالْعَنْ مُساهِمَهُمْ وَمُشارِكَهُمْ

Allâhumma waal’an jabâbiratal awwalîna wal âkhirîna lihuqûqi awliyâikal musta’tsirîn. Allâhumma waqshim da`âimahum. Wa ahlik asyyâ`ahum wa`âilahum. Wa `ajjil mahâlikahum Waslubhum mamâlikahum. Wadhayyiq ‘alayhim masâlikahum. Wal`an musâhimahum wa masyârikahum.

Ya Allah, laknatlah orang-orang yang menzalimi hak para kekasih-Mu, dari dahulu hingga sekarang. Ya Allah, hancurkan benteng-benteng mereka. Binasakan pengikut-pengikut mereka dan keluarga mereka. Percepatlah kebinasaan mereka. Porakporandakan kerajaan mereka. Sempitkan jalan mereka. Dan laknatlah sahabat-sahabat mereka dan penolong-penolong mereka.

اَللّهُمَّ وَعَجِّلْ فَرَجَ اَوْلِيائِكَ، وَارْدُدْ عَلَيْهِمْ مَظالِمَهُمْ، وَاَظْهِرْ بِالْحَقِّ قائِمَهُمْ، وَاجْعَلْهُ لِدينِكَ مُنْتَصِراً، وَبِاَمْرِكَ في اَعْدائِكَ مُؤْتَمِراً

Allâhumma wa `ajjil faraja awliyâika. Wardud ‘alayhim mazhâlimahum. Wa azhhir bilhaqqi qâimahum. Waj`al lidînika muntashiran wa biamrika fî a`dâika mu’tamirâ.

Ya Allah, percepatlah kehadiran kekasih-Mu. Patahkan kezaliman musuh-musuh mereka.
Tampakkan kebenaran dengan kehadiran shahibuz zaman. Jadikan ia penolong agama-Mu, dengan ketentuan-Mu jadikan ia penguasa musuh-musuh-Mu.

اَللّهُمَّ احْفُفْهُ بِمَلائِكَةِ النَّصْرِ وَبِما اَلْقَيْتَ اِلَيْهِ مِنَ الاَْمْرِ في لَيْلَةِ الْقَدْرِ، مُنْتَقِماً لَكَ حَتّى تَرْضى وَيَعوُدَ دينُكَ بِهِ وَعَلى يَدَيْهِ جَديداً غَضّاً، وَيَمْحَضَ الْحَقَّ مَحْضاً، وَيَرْفُضَ الْباطِلَ رَفْضًا

Allâhummahfufhu bimalâikatin nashri, wa bimâ alqayta ilayhi minal amri fî laylatil qadri muntaqaqiman laka. Hattâ tardhâ wa ya’ûda dînuka bihi wa ’alâ yadayhi jadîdan ghadhdhan. Wa yamhadhal haqqa mahdhan, wa yarfudhal bâthila rafdhâ.

Ya Allah, bentengi ia dengan para Malaikat pemberi pertolongan, dengan perkara yang Kau sampaikan kepadanya pada malam al-Qadar sebagai pembalasan dari-Mu. Sehingga Engkau ridha pada kami dan agama-Mu kembali bersamanya dalam keadaan jernih dan suci. Tegakkan kebenaran dengan jelas-jelasnya, dan hancurkan kebatilan dengan kehancuran yang sebenarnya.

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلى جَميعِ آبائِهِ، وَاجْعَلْنا مِنْ صَحْبِهِ وَاُسْرَتِهِ، وَابْعَثْنا في كَرَّتِهِ حَتّى نَكُونَ في زَمانِهِ مِنْ اَعْوانِهِ، اَللّهُمَّ اَدْرِكْ بِنا قِيامَهُ، وَاَشْهِدْنا اَيّامَهُ، وَصَلِّ عَلَيْهِ وَارْدُدْ اِلَيْنا سَلامَهُ، وَالسَّلامُ عَلَيْهِ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاتُهُ


Allâhumma shalli `alayhi wa `alâ jamî’i abâihi, waj`alnâ min shabihi wa usratihi. Wab’atsnâ fî kurratihi hattâ nakûna fî zamânihi min a`wânihi. Allâhumma adrik binâ qiyâmuhu, wa asyhidnâ ayyâmahu wa shalli `alâ Muhammadin wa âlihi. Wardud ilaynâ salâmahu wassalâmu `alayhi wa `alayhim wa rahmatullâhi wa barakâtuh.

Ya Allah, sampaikan shalawat kepadanya dan bapak-bapaknya. Jadikan kami sahabatnya dan keluarganya. Bangkitkan kami dalam perjuangannya sehingga kami menjadi pasukannya di zamannya.

Ya Allah, pertemukan kami dengan kehadirannya. Perlihatkan kepada kami hari-harinya.
Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, dan alirkan pada kami kedamaiannya. Semoga salam dan rahmat Allah serta keberkahan-Nya senantiasa tercurahkan kepadanya.
(Mafâtihul Jinân: bab 2, pasal 5)

Jumat, 07 September 2012

BANI KASTOWIJOYO

SILSILAH BANI CANGGAH KASTOWIJOYO PENAGON
KASTOWIJOYO+SAWIRAH
MUNSYARIF.SAMI.SARISIH.MUJI.
*MUNSYARIF+MARSANAH+KANTHI 
KARMINAH.GIRI.
*SAMI+MUNAWAR
SAMPRI (TUMANG). WARSIDAH.
*SARISIH+SARKAWI(PAPRINGAN)
KHADMAH. RUKIN. RIDLWAN. MUNTAMAH. RUKANAH.
*MUJI+FATHONAH
MASYHURI.MUR.MARTI.KARIOSO.
 MBAH MANTRI+IBU BENDAN(KAMISAH)
SARISEH.  MBOK PINI. MBOK KAWET.ABU.   ABBAS
MARSANAH+SALMAN
SUKAR.  BEROT.  RUMANI.  NASRI.
Sumber: Nur amin  Abdurrrahman
SANAH PUNYA ADIK KARDO BERANAK BINO BERANAK KARMANI (GEMIRING LOR) +ISTUTIK BINTI SUKAHAR PENAGON.
SANAH ANAK TIRINYA BAWIJOYO(BENDAN)/MBAH MANTRI.SARISIH ANAKNYA KAMISAH TUNGGAL IBU. SARISIH GARWANE SUROMINI(PETINGGI NALUMSARI). SARISIH  ANAKNYA MBAH MANTRI (BAWIJOYO).
*KARMINAH+SURIPAH BINTI MIDI
SUHARI.SUMARTIN.SUTIKAH.SUTI’AH.SUMADI.SOPIK. SUWARNO.SUJONO.
*GIRI+TINI BINTI NGARPAN
MARKISAH.MARSIH.TINAH.SUGIYONO.JUWATI.SURATNO.BASIRAN.
*KHADMAH BNT SARKAWI+SODIK BN MARZUKI (kcg)
NURKHOLIS.SA’ID.PUTRI.AFIF.UDIN.PUTRI.PUTRI
*RUKIN+MASMIDAH
MADKUN.DLL
*RIDWAN.*MUNTAMAH+ROHIM.*RUKANAH
KARSIH+SIKIN.PUTRI+NAF’AN.PUTRI+PRIA
HABIBI.DLL    ULUM.DLL             ANAK.ANAK
*MUNSYARIF+KANTHI(KENCING)
SELAMET+PUTRI(KNCG).ATUN(BLIMBING)+PUTRA
MU. TAQIN. DLL                     ANAK.ANAK.
*karminah+suripah bnt midi
SUHARI.MARTIN.SUTIKAH.SUTI’AH.SUMADI.SOPIK.SUWARNO.SUJONO
*SUHARI+SULASIH(JURANG)
SA’ADAH . NUR AFIYAH. WARIYANTI.
*MARTIN+PASRUM BIN MARET
RIF’AN.KHOLIFAH.SUKAMTO.NURUL IZZA
*SUTIKAH+PANDELI(NGETUK)
ZUMAROH.KASMAT . SODIN
*SUTI’AH+SUNARTO(KEDUNG WARU)
IRFAN.ARIS.PURNOMO
*SUMADI+MUSYARROFAH BNT SELAMET(KENCING)
PUTRI.PUTRI.PUTRI.PUTRI
*SOPIK+KARIYOSO BIN MUJI
ANA  . PUTRA . PUTRI
*SUWARNO+ISTRI
EKA LESTARI.BAYU SAPUTRO
*SUJONO+MASRI’AH BINTI ROSYIDI
RIDA RATNA NINGRUM.M.AMMAL FU’AD
@ GIRI+TINI BINTI NGARPAN
MARKISAH.MARSIH.TINAH.GIYONO.JUWATI.SURATNO.BASIRAN
*MARKISAH+ZUHRI BIN MURAWI
MAZIDAH.JUMADI.AHSAN.SUMI’AH.MAHMUDI.NOOR THO’AT
*MARSIH+ABDURRAHMAN BIN SYARBINI
SHOLIKHATUN.NUR AMIN.SHOFIYATUN.PURNOMO.PURWATI.MUNTHOHAR
*TINAH+ROSYIDI BIN MARKUM
MASRI’AH.M.MUHLIS
*GIYONO+SEGER BINTI SAGI(CERAI TANPA ANAK)
*JUWATI+NARSO BIN MULYANI
CHANAFI.NI’MAH.ABDUL KHOLIQ
*SURATNO+NOOR TAHRIZAH BINTI ABU DAIRI(KALI LOPO)
FANDI AHMAD.LUTHFI ALFARIZI.LINDA.FITRIA.HUSAINIYYAH
*BASIRAN+MURWATI BINTI NASRUN
NIDA AMALIA SHOFA.ANIS MILADIA ASHFA.ZAKIYYA 
REPUBLIK INDONESIA SDA 576298                                                               SURAT TANDA TAMAT BELADJAR                                                    SEKOLAH DASAR NEGERI 6 TAHUN
       Jang bertanda tangan dibawah ini, Kepala Sekolah Dasar Negeri            6 tahun No…….di Nalumsari                                                                 Wilajah P. S Majong 2                                                                                   Kabupaten / Kota Madya Djepara Propinsi/Daerah istimewa/Kota raja : Djawa-Tengah.                                                                                         Menerangkan bahwa :
MARSIH
No. Daftar Induk  1699  dilahirkan di Nalumsari                                               pada tanggal 18 mei 1956                                                                                                                           anak tuan / njonja  GIRI                                                                                       telah tamat beladjar di sekolah Dasar Negeri 6 tahun tersebut diatas                                  pada achir tahun adjaran  1969
Nalumsari ,31-12-1969
Kepala Sekolah
( tanda-tangan dan tjap sekolah )                                                                           Nama Kepala sekolah                                                                                                               M. abdulkarnein
Disahkan Oleh                                                                                                            Panitia Sekolah Wilajah                                                                                           Majong 2                                                                                                                           
( Mashudi )
Tjap djari jang berhak : (djari manis, tengah dan telundjuk tangan kiri)Putusan mentri pendidikan dan kebudayaan tanggal 25 djuni 1969 No.048/1969. PERTJETAKAN KEBAJORAN 0001969

PETINGGI WIROSOLO
YANG IDENG                                                                              SOKROMO                                                                                                                                                                                                                                
KAMISAH  +   MARTO RUMAT                                       CARIK NAROH
MARSANAH  + MUNSARIP                                   MASRUKIN/BRODEN
SUWITO GIRI  + TINI                                                                M. MUKLIS
MARSIH  + ABDURRAHMAN               
NUR AMIN  + ISTIQOMAH
HAYYIN NJ .  CHABABAH M.

KAMISAH (MBAKYUNE  MAN  TEMON>>PAANE  SARIYADI>> PAANE  YONO  LAN MOROTUWONE  BADRI  NGLEDOK NALUM)
KAMISAH + MBAH MANTRI(KEK BEDOT) + BATHI
1- SARISEH (MBOE SUWONDO                          1- KASMARI                                                  LAN NASUKO NALUM MLANGAN)
2- MBOK PINI ( DAREN )
3- MBOK  KAWET
4- ABU (BENDAN)
5- ABBAS (BENDAN)

SUMBER : NUR AMIN DARI  BP. MASRUKIN / BRODEN SELASA 3 SYAWAL 1433 / 21 AGSTS 2012 RUMAH  H.SHOLIHUL HADI >>> JUMU’AH  KLIWON 6 SYAWAL 1433 / 24 AGSTS 2012  DI  RUMAHNYA