(30) NURUL 'A'YUN

43 Karya Tulis/Lagu Nur Amin Bin Abdurrahman:
(1) Kitab Tawassulan Washolatan, (2) Kitab Fawaidurratib Alhaddad, (3) Kitab Wasilatul Fudlola', (4) Kitab Nurul Widad, (5) Kitab Ru'yah Ilal Habib Luthfi bin Yahya, (6) Kitab Manaqib Assayyid Thoyyib Thohir, (7) Kitab Manaqib Assyaikh KH.Syamsuri Menagon, (8) Kitab Sholawat Qur'aniyyah “Annurul Amin”, (9) Kitab al Adillatul Athhar wal Ahyar, (10) Kitab Allu'lu'ul Maknun, (11) Kitab Assirojul Amani, (12) Kitab Nurun Washul, (13) Kitab al Anwarullathifah, (14) Kitab Syajarotul Ashlin Nuroniyyah, (15) Kitab Atthoyyibun Nuroni, (16) Kitab al 'Umdatul Usaro majmu' kitab nikah wal warotsah, (17) Kitab Afdlolul Kholiqotil Insaniyyahala silsilatis sadatil alawiyyah, (18) Kitab al Anwarussathi'ahala silsilatin nasabiyyah, (19) Kitab Nurul Alam ala aqidatil awam (20) Kitab Nurul Muqtafafi washiyyatil musthofa.(21) KITAB QA'IDUL GHURRIL MUCHAJJALIN FI TASHAWWUFIS SHOLIHIN,(22) SHOLAWAT TARBIYAH,(23) TARJAMAH SHOLAWAT ASNAWIYYAH,(24) SYA'IR USTADZ J.ABDURRAHMAN,(25) KITAB NURUSSYAWA'IR(26) KITAB AL IDHOFIYYAH FI TAKALLUMIL ARABIYYAH(27) PENGOBATAN ALTERNATIF(28) KITAB TASHDIRUL MUROD ILAL MURID FI JAUHARUTITTAUHID (29) KITAB NURUL ALIM FI ADABIL ALIM WAL MUTAALLIM (30) NURUL 'A'YUN ALA QURRATIL UYUN (31) NURUL MUQODDAS FI RATIBIL ATTAS (32) INTISARI & HIKMAH RATIB ATTAS (33) NURUL MUMAJJAD fimanaqibi Al Habib Ahmad Al Kaff. (34) MAMLAKAH 1-25 (35) TOMBO TEKO LORO LUNGO. (36) GARAP SARI (37) ALAM GHAIB ( 38 ) PENAGON Menjaga Tradisi Nusantara Menulusuri Ragam Arsitektur Peninggalan Leluhur, Dukuh, Makam AS SAYYID THOYYIB THOHIR Cikal Bakal Dukuh Penagon Nalumsari Penagon (39 ) AS SYIHABUL ALY FI Manaqib Mbah KH. Ma'ruf Asnawi Al Qudusy (40) MACAM-MACAM LAGU SHOLAWAT ASNAWIYYAH (bahar Kamil Majzu' ) ( 41 ) MACAM-MACAM LAGU BAHAR BASITH ( 42 ) KHUTBAH JUM'AT 1998-2016 ( 43 ) Al Jawahirun Naqiyyah Fi Tarjamatil Faroidus Saniyyah Wadduroril Bahiyyah Lis Syaikh M. Sya'roni Ahmadi Al Qudusy.

Rabu, 08 Januari 2014

MBAH HADI GIRIKUSUMO

Pondok Pesantren Girikusuma Senin, 25 Agustus 2008 Keberadaan Pesantren Girikusuma tergolong cukup tua. Berdasarkan catatan yang menempel di dinding masjid, lembaga ini berdiri para 16 Rabiul Awwal 1288 H atau sekitar tahun 1836 M didirikan oleh KH. Hadi Siraj. Semasa remaja ia pernah bermukim di Mekkah dan belajar agama kepada Syeikh Sulaiman Moh. Zuhdi. Pondok pesantren ini lebih dikenal sebagai salah satu pusat kegiatan tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyyah. Sebagaimana umumnya pondok pesantren pada saat itu, pengelolaan pondok terfokus pada seseorang figur sentral yakni kiai. Demikian pula halnya dengan pondok pesantren Girikusuma. Pertama kali didirikan pondok pesantren ini langsung dipimpin oleh KH. Hadi Siraj. Setelah KH. Hadi Siraj wafat, secara turun temurun pengelolaan pondok pesantren di bawah kepemimpinan keturunan KH. Hadi. Pertama oleh puteranya KH. Zahid Hadi. Setelah KH Zahid wafat diteruskan oleh cucu pendiri, Kiai Moh. Zuhri Zahid. Selanjutnya kepemimpinan pondok tersebut dipercayakan kepada buyut pendiri yang bernama Kiai Munif Zuhri. Pada masa kepemimpinan KH. Hadi Siraj sampai cucunya KH. Zuhri Zahid menangani dua kegiatan pokok. Yaitu tarekat dan pendidikan pondok pesantren atau pengajian. Sedangkan pada masa kepemimpinan Moh. Munifi Zuhri dua kegiatan tersebut dipisah penanganannya. Ia menangani kegiatan tarekat (mursyid). Sedangkan kegiatan pengajian ditangani secara kolektif oleh KH. Munif, KH. Sonhaji, KH. Muharrar, dan KH. Mukhtar. Setelah kakak Munif, Nadzif Zuhri pulang dari Universitas Madinah, dia diserahi tugas secara penuh untuk mengasuh pondok pesantren sendirian. Meskipun demikian dalam pelaksanaan pengajian para kiai masih ikut menanganinya. Hanya Agama Pondok Pesantren Girikusuma benar-benar merupakan pondok pesantren salaf. Dalam kegiatan pendidikannya semata-mata hanya mengajarkan pendidikan agama. Sebelum kepeminpinan KH. Nadzif Zuhri sistem pendidikan menggunakan metode sorogan dan bandongan. Di bawah pengasuhan KH. Nadzif Zuhri mulai menggunakan sistem pendidikan madrasah atau klasikal. Namun bahan pelajarannya tetap menggunakan kitab-kitab kuning. Meskipun begitu, sistem pengajian sorogan dan bandongan tetap dipertahankan dengan alokasi waktu setiap usai salat wajib. Sehingga pondok pesantren ini menamakan dirinya sebagai “Sekolah Islam Salaf” (SIS). Sisitem pendidikan madrasah yang diselenggarakan adalah madrasah setingkat lanjutan pertama yang disebut dengan al-Marhalah al-Mutawassithah dan madrasah setingkat lanjutan atas yang disebut al-Marhalah al-Tsanawiyyah. Pada kedua madrasah tersebut sepenuhnya mengajarkan pelajaran agama, kecuali bahasa Inggris sebagai pelajaran umum yang diberikan. Kurukulum Pesantren Kurikulum yang digunakan, sepenuhnya merupakan kurikulum susunan pondok pesantren sendiri. Kedua madrasah tidak memberikan ijazah sebagiamana lazimnya madrasah/sekolah yang diakui pemerintah. Kedua madrasah tersebut hanya mengeluarkan surat tanda selesai belajar tanpa akreditasi dari lembaga yang berwenang (Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional). Namun demikian, pengasuhnya berharap agar kemampuan lulusan kedua madrasah tersebut dapat sejajar dengan kemampuan lulusan madrasah-madrasah dalam tingkatan yang sama di negara-negara Islam. Sehingga kelak dapat melanjutkan belajar di salah satu negara Islam tersebut. Materi yang diberikan pada pengajian rutin dan madrasah terdapat keterkaitan atau saling melengkapi. Kitab-kitab yang dipelajari dalam pengajian rutin adalah, Tafsîr al-Jalâlain, Tanwîr al-Qulûb, Riyâdh ash-Shâlihîn, al-Ghuniyyah, al-Ibânah ‘an Ush ad-Diyânah, al-Hikam, dan lain. Saat ini yang menimba ilmu di pondok pesantren Girikusuma berjumlah sebanyak 700 orang. Dilihat dari keikutsertaannya dengan metode pengajaran, mereka terbagi dalam dua kelompok. Kelompok klasikal dan kelompok tradisional, dengan 53 orang pembimbing. Yaitu terdiri dari seorang kiai, sembilan badal (pembantu), dan 43 orang guru. Sedangkan dilihat dari tingkat pendidikan terakhirnya, sebagian lulusan SLTA keagamaan atau Aliyah keagamaan plus pondok pesantren dan perguruan tinggi baik. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren Girikusumo dilengkapi 10 ruangan pengajian, 12 kamar asrama putra, delapan kamar asrama putri, sebuah masjid, perpustakaan, kantor kiai dan guru. Juga dilengkapi dengan lapangan olahraga seluas 165 M2. Bangunan-bangunan tersebut menggunakan lahan seluas 2.306 M2. Semua fasilitas tersebut berdiri di atas lahan seluas 12.433 M2 yang keseluruhan merupakan tanah wakaf. Sementara sumber dana untuk pembiayaan operasional proses pembelajaran di pondok pesantren ini, selain dari orang tua/wali santri, juga diperoleh dari berbagai sumber. Seperti donatur tetap dan tidak tetap, bantuan pemerintah atau swasta. [ ] Nama Pontren : Pondok Pesantren Girikusuma Alamat : Girikusuma-Mranggen-Demak Pendiri : KH. Hadi Siraj Pemimpin : KH. Moh. Munif Zuhri Pondok Pesantren Girikusumo, Mranggen, Demak – Jawa Tengah Posted December 30, 2010 Filed under: Budaya, INFO | Desa Giri Kusumo berasal dari kata Giri dan Kusumo, yang memiliki arti Giri adalah Gunung, Kusumo adalah Kembang. Giri Kusumo secara istilah adalah Kembangnya Gunung. Giri Kusumo didirikan pertama kali oleh Mbah Hasan Muhibal yang sekarang dikenal sebagai Mbah Hadi. Mbah Hadi adalah sosok orang yang santun dan cerdas, beliau masih keturunan wali. Pada awalnya beliau diutus oleh allah untuk menyeba luaskan agama islam, pada waktu malam Mbah Hadi mendapat petunjuk untuk membangun sebuah pusat pendidikan di tanah yang mirip dengan Mekah, Jati Ngaleh, Kawengen dan menjadi pusat penyinggahan Mbah Hadi, akan tetapi tidak daerah tersebut yang di lanjutkan oleh Allah. Beliau terus mencari dan berjalan kea rah utara akhirnya beliau sampailah di daerah yang dimaksud sebuah hutan berantara yamg dikelilingi oleh gunung, yaitu Gunung Ungaran, di sebelah Barat Gunung Slamet di sebelah Selatan Gunung Solo di sebelah Timur daN Bukit Kecil di sebelah Utara yang sekarang menjadi tempat pemakaman Mbah Hasan Muhibal (Mbah Hadi). Pada saat beliau wafat disanalah Mbah Hadi memulai membuka pusat pendidikan yang ditandai dengan didirikannya Masjid sebagai tempat siar Islam. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren dan Perkembangannya Pondok Pesantren Girikusumo, Banyumeneng Mranggen Demak Jawa Tengah didirikan oleh Syeikh Muhammad Hadi bin Thohir bin Shodiq bin Ghozali bin Abu Wasidan bin Abdul Karim bin Abdurrasyid bin Syaifudin Tsani (Ky Ageng Pandanaran II) bin Syaifudin Awwal (Ky Ageng Pandanaran I) pada tahun 1288 H bertepatan dengan tahun 1868 M. Pondok pesantern yang kini telah berusia kurang lebih 137 tahun itu merupakan perwujudan gagasan Syeikh Muhammad Hadi untuk membangun sebuah lembaga pendidikan yang menangani pendidikan akhlak (tasawuf) dan ilmu agama di tengan-tengah masyarakat. Untuk mendukungg gagasannya itu Syeikh Muhammad Hadi yang oleh para santri dan masyarakat disekitar Girikusumo Mranggen dipanggil dengan sebutan Mbah Hadi, Mbah Hasan Mukibat, Mbah Giri atau Ky Ageng Giri, mendirikan sebuah bangunan masjid di ujung sebuah desa ditepi hutan. Menurut catatan prasasti didinding bagian depan bangunan masjid yang seluruh bangunannya menggunakan kayu jati itu dibangun hanya dalam waktu 4 jam, dimulai dari jam sembilan malam selesai jam satu malam itu juga. Prasasti yang ditulis dengan menggunakan huruf arab pegon dan bahasanya menggunakan bahasa jawa itu berbunyi : “Iki pengenget masjid dukuh Girikusumo, tahun ba hijriyah nabi ollallahu alaihi wasallam 1228 wulan rabiul akhir tanggal ping nembelas awit jam songo dalu jam setunggal dalu rampung, yasane Kyai Muhammad Giri ugi saksekabehane wong ahli mukmin kang hadir taqobballahu ta’ala amin”. Dengan bekal sebauh bangunan masjid yang lokasinya berada dikaki sebuah perbukitan yang rimbun, waktu itu Mbah Hadi oleh Allah SWT, dikaruniai umur yang cukup panjang, sehingga memiliki kesempatan dan waktu yang cukup untuk menyiapkan kader-kader penerus perjuangan yang dirintisnya dikemudian hari, demikian pula denagn anak dan keluarganya Mbah Hadi memiliki perhatian yang sangat besar terutama dalam hal pendidikan. Perhatian ini dibuktikan dengan memondokkan putra-putranya diberbagai Pondok Pesantren di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, yang mampu memunculkan generasi penerus semisal Kyai Sirajuddin dan Kyai Mansur. Yang akhirnya Kyai Sirajuddin sepulang dari Pondok ditunjuk untuk meneruskan program pondok pesantren yang telah dirintis ayahandanya, khususnya santri-santri muda, sementara santri tua/torigoh tetap dipegang oleh Mbah Hadi. Sementara Kyai Mansur ditugaskan ayahnya untuk meneruskan perjuangannya didaerah Solo, tepatnya di desa Dlanggu Klaten. Namun Kyai Sirajuddin dikaruniai umur yang pendek oleh tuhan sehingga beliau meninggal mendahului ayahandanya. Sementara Mbah Hadi meninggal dunia pada tahun 1931 dan selanjutnya tugas kepemimpinan pondok pesantren diteruslan ioleh adik kandung Kyai Sirojuddin yaitu Kyai Zahid. Mbah Zahid sebagai generasi kedua hanya memimipin pondok dalam kurun waktu 30 tahun. Tahun 1961 tongkat kepemimpinan pondok diserahkan kepada anak tertuanya KH. Muhammad Zuhri yang oleh para santri dan masyarakat dipanggil dengan sebutan Mbah Muh Giri, karena kondisi kesehatanMbah Zahid semakin menurun dan meninggal dunia pada tahun 1967. Di bawah kepemimpinan Mbah Muh inilah pondok Giri mulai mencoba untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dibidang pendidikan santri, penyajian pendidikan yang selama ini berjalan dengan system bandongan dilengkapi dengan system klasikal, sementara system lama tetap berjalan. Kepemimpinan Mbah Muhammad Zuhri berlangsung selama 19 tahun kemudian kepemimpinan Pondok Pesantren diteruskan putranya KH,. Munif Muhammad Zuhri. Pada tahun 1997 Kyai Munif mencoba mencari format baru untuk mengembangkan pendidikan dilingkungan pesantren Girikusumo, dengan memdirikan sebuah yayasan Ky Ageng Giri dengan maksud membawahi lembaga-lembaga formal yang mengikuti program pemerintah. Hal ini didasarkan pada orentasi dan kebutuhan masyarakat akan formalitas dengan tidak meninggalkan ciri khas lembaga yang bernaung dibawah pesantren yaitu dominasi religiusitas kurikulum yang diterapkan dilembaga dibawah Yayasan. Adapun lembaga-lembaga yang telah didirikan adalah TK, SD, SMP, dan SMA. Dengan trobosan baru inilah akhirnya Pondok Pesantren Girikusumo mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga semakin hari semakin bertambah jumlah santrinya. Hal ini disebabkan karena para alumni yang tidak sedikit jimlahnya yang telah menjadi panutan masyarakat, disamping juga berkah dari sang pendiri Syeikh Muhammad Hadi. Hingga kini keberhasilan Pondok Pesantren Girikusumo menyebarluaskan ajarannya hingga menerobos didaerah luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Lombok. Keberadaan Pesantren Girikusuma tergolong cukup tua. Berdasarkan catatan yang menempel di dinding masjid, lembaga ini berdiri para 16 Rabiul Awwal 1288 H atau sekitar tahun 1836 M didirikan oleh KH. Hadi Siraj. Semasa remaja ia pernah bermukim di Mekkah dan belajar agama kepada Syeikh Sulaiman Moh. Zuhdi. Pondok pesantren ini lebih dikenal sebagai salah satu pusat kegiatan tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyyah. Sebagaimana umumnya pondok pesantren pada saat itu, pengelolaan pondok terfokus pada seseorang figur sentral yakni kiai. Demikian pula halnya dengan pondok pesantren Girikusuma. Pertama kali didirikan pondok pesantren ini langsung dipimpin oleh KH. Hadi Siraj. Setelah KH. Hadi Siraj wafat, secara turun temurun pengelolaan pondok pesantren di bawah kepemimpinan keturunan KH. Hadi. Pertama oleh puteranya KH. Zahid Hadi. Setelah KH Zahid wafat diteruskan oleh cucu pendiri, Kiai Moh. Zuhri Zahid. Selanjutnya kepemimpinan pondok tersebut dipercayakan kepada buyut pendiri yang bernama Kiai Munif Zuhri. Pada masa kepemimpinan KH. Hadi Siraj sampai cucunya KH. Zuhri Zahid menangani dua kegiatan pokok. Yaitu tarekat dan pendidikan pondok pesantren atau pengajian. Sedangkan pada masa kepemimpinan Moh. Munifi Zuhri dua kegiatan tersebut dipisah penanganannya. Ia menangani kegiatan tarekat (mursyid). Sedangkan kegiatan pengajian ditangani secara kolektif oleh KH. Munif, KH. Sonhaji, KH. Muharrar, dan KH. Mukhtar. Setelah kakak Munif, Nadzif Zuhri pulang dari Universitas Madinah, dia diserahi tugas secara penuh untuk mengasuh pondok pesantren sendirian. Meskipun demikian dalam pelaksanaan pengajian para kiai masih ikut menanganinya. Hanya Agama Pondok Pesantren Girikusuma benar-benar merupakan pondok pesantren salaf. Dalam kegiatan pendidikannya semata-mata hanya mengajarkan pendidikan agama. Sebelum kepeminpinan KH. Nadzif Zuhri sistem pendidikan menggunakan metode sorogan dan bandongan. Di bawah pengasuhan KH. Nadzif Zuhri mulai menggunakan sistem pendidikan madrasah atau klasikal. Namun bahan pelajarannya tetap menggunakan kitab-kitab kuning. Meskipun begitu, sistem pengajian sorogan dan bandongan tetap dipertahankan dengan alokasi waktu setiap usai salat wajib. Sehingga pondok pesantren ini menamakan dirinya sebagai “Sekolah Islam Salaf” (SIS). Sisitem pendidikan madrasah yang diselenggarakan adalah madrasah setingkat lanjutan pertama yang disebut dengan al-Marhalah al-Mutawassithah dan madrasah setingkat lanjutan atas yang disebut al-Marhalah al-Tsanawiyyah. Pada kedua madrasah tersebut sepenuhnya mengajarkan pelajaran agama, kecuali bahasa Inggris sebagai pelajaran umum yang diberikan. Kurukulum Pesantren Kurikulum yang digunakan, sepenuhnya merupakan kurikulum susunan pondok pesantren sendiri. Kedua madrasah tidak memberikan ijazah sebagiamana lazimnya madrasah/sekolah yang diakui pemerintah. Kedua madrasah tersebut hanya mengeluarkan surat tanda selesai belajar tanpa akreditasi dari lembaga yang berwenang (Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional). Namun demikian, pengasuhnya berharap agar kemampuan lulusan kedua madrasah tersebut dapat sejajar dengan kemampuan lulusan madrasah-madrasah dalam tingkatan yang sama di negara-negara Islam. Sehingga kelak dapat melanjutkan belajar di salah satu negara Islam tersebut. Materi yang diberikan pada pengajian rutin dan madrasah terdapat keterkaitan atau saling melengkapi. Kitab-kitab yang dipelajari dalam pengajian rutin adalah, Tafsîr al-Jalâlain, Tanwîr al-Qulûb, Riyâdh ash-Shâlihîn, al-Ghuniyyah, al-Ibânah ‘an Ush ad-Diyânah, al-Hikam, dan lain. Saat ini yang menimba ilmu di pondok pesantren Girikusuma berjumlah sebanyak 700 orang. Dilihat dari keikutsertaannya dengan metode pengajaran, mereka terbagi dalam dua kelompok. Kelompok klasikal dan kelompok tradisional, dengan 53 orang pembimbing. Yaitu terdiri dari seorang kiai, sembilan badal (pembantu), dan 43 orang guru. Sedangkan dilihat dari tingkat pendidikan terakhirnya, sebagian lulusan SLTA keagamaan atau Aliyah keagamaan plus pondok pesantren dan perguruan tinggi baik. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren Girikusumo dilengkapi 10 ruangan pengajian, 12 kamar asrama putra, delapan kamar asrama putri, sebuah masjid, perpustakaan, kantor kiai dan guru. Juga dilengkapi dengan lapangan olahraga seluas 165 M2. Bangunan-bangunan tersebut menggunakan lahan seluas 2.306 M2. Semua fasilitas tersebut berdiri di atas lahan seluas 12.433 M2 yang keseluruhan merupakan tanah wakaf. Sementara sumber dana untuk pembiayaan operasional proses pembelajaran di pondok pesantren ini, selain dari orang tua/wali santri, juga diperoleh dari berbagai sumber. Seperti donatur tetap dan tidak tetap, bantuan pemerintah atau swasta. Nama Pontren : Pondok Pesantren Girikusuma Alamat : Girikusuma-Mranggen-Demak Pendiri : KH. Hadi Siraj Pemimpin : KH. Moh. Munif Zuhri Dari berbagai sumber – “…menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama… DA KY AGENG GIRI Diposkan oleh Hadi Prayitno | Label: MRANGGEN undefined undefined MENYINGKAP LEGENDA GIRI KUSUMO Desa Giri Kusumo berasal dari kata Giri dan Kusumo, yang memiliki arti Giri adalah Gunung, Kusumo adalah Kembang. Giri Kusumo secara istilah adalah Kembangnya Gunung. Giri Kusumo didirikan pertama kali oleh Mbah Hasan Muhibal yang sekarang dikenal sebagai Mbah Hadi. Mbah Hadi adalah sosok orang yang santun dan cerdas, beliau masih keturunan wali. Pada awalnya beliau diutus oleh allah untuk menyeba luaskan agama islam, pada waktu malam Mbah Hadi mendapat petunjuk untuk membangun sebuah pusat pendidikan di tanah yang mirip dengan Mekah, Jati Ngaleh, Kawengen dan menjadi pusat penyinggahan Mbah Hadi, akan tetapi tidak daerah tersebut yang di lanjutkan oleh Allah. Beliau terus mencari dan berjalan kea rah utara akhirnya beliau sampailah di daerah yang dimaksud sebuah hutan berantara yamg dikelilingi oleh gunung, yaitu Gunung Ungaran, di sebelah Barat Gunung Slamet di sebelah Selatan Gunung Solo di sebelah Timur daN Bukit Kecil di sebelah Utara yang sekarang menjadi tempat pemakaman Mbah Hasan Muhibal (Mbah Hadi). Pada saat beliau wafat disanalah Mbah Hadi memulai membuka pusat pendidikan yang ditandai dengan didirikannya Masjid sebagai tempat siar Islam. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren dan Perkembangannya Pondok Pesantren Girikusumo, Banyumeneng Mranggen Demak Jawa Tengah didirikan oleh Syeikh Muhammad Hadi bin Thohir bin Shodiq bin Ghozali bin Abu Wasidan bin Abdul Karim bin Abdurrasyid bin Syaifudin Tsani (Ky Ageng Pandanaran II) bin Syaifudin Awwal (Ky Ageng Pandanaran I) pada tahun 1288 H bertepatan dengan tahun 1868 M. Pondok pesantern yang kini telah berusia kurang lebih 137 tahun itu merupakan perwujudan gagasan Syeikh Muhammad Hadi untuk membangun sebuah lembaga pendidikan yang menangani pendidikan akhlak (tasawuf) dan ilmu agama di tengan-tengah masyarakat. Untuk mendukungg gagasannya itu Syeikh Muhammad Hadi yang oleh para santri dan masyarakat disekitar Girikusumo Mranggen dipanggil dengan sebutan Mbah Hadi, Mbah Hasan Mukibat, Mbah Giri atau Ky Ageng Giri, mendirikan sebuah bangunan masjid di ujung sebuah desa ditepi hutan. Menurut catatan prasasti didinding bagian depan bangunan masjid yang seluruh bangunannya menggunakan kayu jati itu dibangun hanya dalam waktu 4 jam, dimulai dari jam sembilan malam selesai jam satu malam itu juga. Prasasti yang ditulis dengan menggunakan huruf arab pegon dan bahasanya menggunakan bahasa jawa itu berbunyi : “ Iki pengenget masjid dukuh Girikusumo, tahun ba hijriyah nabi ollallahu alaihi wasallam 1228 wulan rabiul akhir tanggal ping nembelas awit jam songo dalu jam setunggal dalu rampung, yasane Kyai Muhammad Giri ugi saksekabehane wong ahli mukmin kang hadir taqobballahu ta’ala amin”. Dengan bekal sebauh bangunan masjid yang lokasinya berada dikaki sebuah perbukitan yang rimbun, waktu itu Mbah Hadi oleh Allah SWT, dikaruniai umur yang cukup panjang, sehingga memiliki kesempatan dan waktu yang cukup untuk menyiapkan kader-kader penerus perjuangan yang dirintisnya dikemudian hari, demikian pula denagn anak dan keluarganya Mbah Hadi memiliki perhatian yang sangat besar terutama dalam hal pendidikan. Perhatian ini dibuktikan dengan memondokkan putra-putranya diberbagai Pondok Pesantren di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, yang mampu memunculkan generasi penerus semisal Kyai Sirajuddin dan Kyai Mansur. Yang akhirnya Kyai Sirajuddin sepulang dari Pondok ditunjuk untuk meneruskan program pondok pesantren yang telah dirintis ayahandanya, khususnya santri-santri muda, sementara santri tua/torigoh tetap dipegang oleh Mbah Hadi. Sementara Kyai Mansur ditugaskan ayahnya untuk meneruskan perjuangannya didaerah Solo, tepatnya di desa Dlanggu Klaten. Namun Kyai Sirajuddin dikaruniai umur yang pendek oleh tuhan sehingga beliau meninggal mendahului ayahandanya. Sementara Mbah Hadi meninggal dunia pada tahun 1931 dan selanjutnya tugas kepemimpinan pondok pesantren diteruslan ioleh adik kandung Kyai Sirojuddin yaitu Kyai Zahid. Mbah Zahid sebagai generasi kedua hanya memimipin pondok dalam kurun waktu 30 tahun. Tahun 1961 tongkat kepemimpinan pondok diserahkan kepada anak tertuanya KH. Muhammad Zuhri yang oleh para santri dan masyarakat dipanggil dengan sebutan Mbah Muh Giri, karena kondisi kesehatanMbah Zahid semakin menurun dan meninggal dunia pada tahun 1967. Di bawah kepemimpinan Mbah Muh inilah pondok Giri mulai mencoba untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dibidang pendidikan santri, penyajian pendidikan yang selama ini berjalan dengan system bandongan dilengkapi dengan system klasikal, sementara system lama tetap berjalan. Kepemimpinan Mbah Muhammad Zuhri berlangsung selama 19 tahun kemudian kepemimpinan Pondok Pesantren diteruskan putranya KH,. Munif Muhammad Zuhri. Pada tahun 1997 Kyai Munif mencoba mencari format baru untuk mengembangkan pendidikan dilingkungan pesantren Girikusumo, dengan memdirikan sebuah yayasan Ky Ageng Giri dengan maksud membawahi lembaga-lembaga formal yang mengikuti program pemerintah. Hal ini didasarkan pada orentasi dan kebutuhan masyarakat akan formalitas dengan tidak meninggalkan ciri khas lembaga yang bernaung dibawah pesantren yaitu dominasi religiusitas kurikulum yang diterapkan dilembaga dibawah Yayasan. Adapun lembaga-lembaga yang telah didirikan adalah TK, SD, SMP, dan SMA. Dengan trobosan baru inilah akhirnya Pondok Pesantren Girikusumo mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga semakin hari semakin bertambah jumlah santrinya. Hal ini disebabkan karena para alumni yang tidak sedikit jimlahnya yang telah menjadi panutan masyarakat, disamping juga berkah dari sang pendiri Syeikh Muhammad Hadi. Hingga kini keberhasilan Pondok Pesantren Girikusumo menyebarluaskan ajarannya hingga menerobos didaerah luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Lombok. Tujuan Didirikannya Pondok Pesantren 1. Menyebarkan ajaran Islam keseluruh umat 2. Lii’lai kalimatillah dan Izzul Islam wal muslimin 3. Mengembangkan pendidikan dan pengajaran menurut faham Ahlusunnah wal J

TAREKAT NAQSYABANDIYYAH

Advertisement Ikuti Wikipedia bahasa Indonesia di dan [tutup] Tarekat Naqsyabandiyah Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Halaman ini belum atau baru diterjemahkan sebagian dari bahasa Melayu. Bantulah Wikipedia untuk melanjutkannya. Lihat panduan penerjemahan Wikipedia. Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini. Tarekat Naqshbandiyah/Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat yang luas penyebarannya, umumnya di wilayah Asia, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Dagestan, Russia. Tarekat ini mengutamakan pada pemahaman hakikat dan tasauf yang mengandung unsur-unsur pemahaman rohani yang spesifik, seperti tentang rasa atau "zok". Didalam pemahaman yang meng"isbat"kan zat ketuhanan dan "isbat" akan sifat "maanawiyah" yang maktub didalam "roh" anak anak adam mahupun pengakuan didalam "fanabillah" mahupun berkekalan dlam "bakabillah" yang melibatkan zikir zikir hati(hudurun kalbu). Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani ("Pembaru Milenium kedua"). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari[rujukan?], serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).[rujukan?] Kata Naqsyabandiyah/Naqsyabandi/Naqshbandi نقشبندی berasal dari Bahasa Arab iaitu Murakab Bina-i dua kalimah Naqsh dan Band yang bererti suatu ukiran yang terpateri, atau mungkin juga dari Bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya yaitu Baha-ud-Din Naqshband Bukhari. Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai "pembuat gambar", "pembuat hiasan". Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai "Jalan Rantai", atau "Rantai Emas". Perlu dicatat pula bahwa dalam Tarekat Naqsyabandiyah, silsilah spiritualnya kepada Nabi Muhammad adalah melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, sementara kebanyakan tarekat-tarekat lain silsilahnya melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Ali bin Abu Thalib Karramallahu Wajhahu. Daftar isi • 1 PENDIRI TARIQAT NAQSHBANDIYAH • 2 KEKHUSUSAN THORIQOH NAQSYABANDIYAH • 3 PERKEMBANGAN THORIQOH NAQSYABANDIYAH • 4 Riwayat Thoriqoh • 5 Ijazah seorang Syekh dalam silsilah tarekat • 6 Beberapa Tokoh dalam Thoriqoh Naqsyabandiyah • 7 Beberapa tokoh Thoriqoh Naqsyabandiyah Indonesia • 8 Pranala luar PENDIRI TARIQAT NAQSHBANDIYAH Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata: Pada suatu hari aku dan sahabatku sedang bermuraqabah, lalu pintu langit terbuka dan gambaran Musyahadah hadir kepadaku lalu aku mendengar satu suara berkata, “Tidakkah cukup bagimu untuk meninggalkan mereka yang lain dan hadir ke Hadhrat Kami secara berseorangan?” Suara itu menakutkan daku hingga menyebabkan daku lari keluar dari rumah. Daku berlari ke sebuah sungai dan terjun ke dalamnya. Daku membasuh pakaianku lalu mendirikan Solat dua raka’at dalam keadaan yang tidak pernah daku alami, dengan merasakan seolah-olah daku sedang bersalat dalam kehadiranNya. Segala-galanya terbuka dalam hatiku secara Kashaf. Seluruh alam lenyap dan daku tidak menyedari sesuatu yang lain melainkan bersalat dalam kehadiranNya. Aku telah ditanya pada permulaan penarikan tersebut, “Mengapa kau ingin memasuki jalan ini?” Aku menjawab, “Supaya apa sahaja yang aku katakan dan kehendaki akan terjadi. ” Aku dijawab, “Itu tidak akan berlaku. Apa sahaja yang Kami katakan dan apa sahaja yang Kami kehendaki itulah yang akan terjadi. ” Dan aku pun berkata, “Aku tidak dapat menerimanya, aku mesti diizinkan untuk mengatakan dan melakukan apa sahaja yang aku kehendaki, ataupun aku tidak mahu jalan ini. ” Lalu daku menerima jawapan, “Tidak! Apa sahaja yang Kami mahu ianya diperkatakan dan apa sahaja yang Kami mahu ianya dilakukan itulah yang mesti dikatakan dan dilakukan. ” Dan daku sekali lagi berkata, “Apa sahaja yang ku katakan dan apa sahaja yang ku lakukan adalah apa yang mesti berlaku. ” Lalu daku ditinggalkan keseorangan selama lima belas hari sehingga daku mengalami kesedihan dan tekanan yang hebat, kemudian daku mendengar satu suara, “Wahai Bahauddin, apa sahaja yang kau mahukan, Kami akan berikan. ” Daku amat gembira lalu berkata, “Aku mahu diberikan suatu jalan Tariqat yang akan menerajui sesiapa jua yang menempuhnya terus ke Hadhrat Yang Maha Suci. ” Dan daku telah mengalami Musyahadah yang hebat dan mendengar suara berkata, “Dikau telah diberikan apa yang telah dikau minta. ” Beliau telah menerima limpahan Keruhanian dan prinsip dasar Tariqat Naqshbandiyah dari Hadhrat Khwajah ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang terdiri dari lapan perkara iaitu: Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan, Khalwat Dar Anjuman. Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga lagi prinsip menjadikannya sebelas iaitu: Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani. Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Jalan Tariqat kami adalah sangat luarbiasa dan merupakan ‘Urwatil Wutsqa (Pegangan Kukuh), dengan berpegang teguh secara sempurna dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Mereka telah membawa daku ke jalan ini dengan Kekurniaan. Dari awal hingga ke akhir daku hanya menyaksikan Kekurniaan Allah bukan kerana amalan. Menerusi jalan Tariqat kami, dengan amal yang sedikit, pintu-pintu Rahmat akan terbuka dengan menuruti jejak langkah Sunnah Baginda Rasulullah Sallahllu ‘Alaihi Wasallam. ” Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih mempunyai dua orang Khalifah besar iaitu Hadhrat Khwajah ‘Alauddin ‘Attar Rahmatullah ‘alaih dan Hadhrat Khwajah Muhammad Parsa Rahmatullah ‘alaih, pengarang kitab Risalah Qudsiyyah. Dia adalah ibarat lautan ilmu yang tak bertepi dan dianugerahkan dengan mutiara-mutiara hikmah dari Ilmu Laduni. Dia menyucikan hati-hati manusia dengan lautan amal kebaikan. Dia menghilangkan haus sekelian Ruh dengan air dari pancuran Ruhaniahnya. Dia amat dikenali oleh sekelian penduduk di langit dan di bumi. Dia ibarat bintang yang bergemerlapan yang dihiasi dengan mahkota petunjuk. Dia mensucikan Ruh-Ruh manusia tanpa pengecualian menerusi napasnya yang suci. Dia memikul cahaya Kenabian dan pemelihara Syari’at Muhammadiyah serta rahsia-rahsia MUHAMMADUR RASULULLAH. Cahaya petunjuknya menerangi segala kegelapan kejahilan Raja-raja dan orang awam sehingga mereka pun datang berdiri di pintu rumahnya. Cahaya petunjuknya juga meliputi seluruh Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Dia adalah Ghauts, Sultanul Auliya dan rantai bagi sekelian permata Ruhani. Semoga Allah Merahmatinya Dan Mengurniakan Limpahan Fakalan Kepada Kita. Amin. KEKHUSUSAN THORIQOH NAQSYABANDIYAH HADHRAT Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih yang merupakan salah seorang dari Para Masyaikh Akabirin THORIQOH NAQSYABANDIYAH telah berkata di dalam surat-suratnya yang terhimpun di dalam Maktubat Imam Rabbani, “Ketahuilah bahawa thoriqoh yang paling Aqrab dan Asbaq dan Aufaq dan Autsaq dan Aslam dan Ahkam dan Asdaq dan Aula dan A’la dan Ajal dan Arfa’ dan Akmal dan Ajmal adalah Tariqah ‘Aliyah Naqshbandiyah, semoga Allah Ta’ala mensucikan roh-roh ahlinya dan mensucikan rahsia-rahsia Para Masyaikhnya. Mereka mencapai darjat yang tinggi dengan berpegang dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan menjauhkan dari perkara Bida’ah serta menempuh jalan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Mereka berjaya mencapai kehadiran limpahan Allah secara berterusan dan syuhud serta mencapai maqam kesempurnaan dan mendahului mereka yang lain. ” Adapun Hadhrat Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Rahmatullah ‘alaih telah menerangkan kelebihan dan keunggulan THORIQOH NAQSYABANDIYAH dengan beberapa lafaz yang ringkas dan padat adalah menerusi pengalaman keruhaniannya. Ia merupakan seorang pembaharu agama (Mujaddid/Reformer) pada abad ke 11 Hijrah. Sebelum beliau menerima Silsilah THORIQOH NAQSYABANDIYAH beliau telah menempuh beberapa jalan Tariqat seperti Chishtiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah dan beberapa Tariqat yang lain dengan cemerlang serta memperolehi Khilafah dan Sanad Ijazah. Ia telah menerima Tariqat Silsilah ‘Aliyah Khwajahganiyah Naqshbandiyah dari gurunya Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih. Beliau telah berpendapat bahawa dari kesemua jalan Tariqat, yang paling mudah dan paling berfaedah adalah THORIQOH NAQSYABANDIYAH dan telah memilihnya serta telah menunjukkan jalan ini kepada para penuntut kebenaran. “Allahumma Ajzahu ‘Anna Jaza An Hasanan Kafiyan Muwaffiyan Li Faidhanihil Faidhi Fil Afaq” Terjemahan: “Wahai Allah, kurniakanlah kepada kami kurnia yang baik, cukup lagi mencukupkan dengan limpahan faidhznya yang tersebar di Alam Maya. ” Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih telah bersujud selama lima belas hari di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan penuh hina dan rendah diri, berdoa memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ditemukan dengan jalan Tariqat yang mudah dan senang bagi seseorang hamba bagi mencapai Zat Maha Esa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkabulkan doanya dan menganugerahkan Tariqat yang khas ini yang masyhur dengan nisbat Naqshband atau digelar Naqshbandiyah. Naqsh bererti lukisan, ukiran, peta atau tanda dan Band pula bererti terpahat, terlekat, tertampal atau terpateri. Naqshband pada maknanya bererti “Ukiran yang terpahat” dan maksudnya adalah mengukirkan kalimah Allah Subhanahu Wa Ta’ala di hati sanubari sehingga ianya benar-benar terpahat di dalam pandangan mata hati yakni pandangan Basirah. Adalah dikatakan bahawa Hadhrat Shah Naqshband tekun mengukirkan Kalimah Allah di dalam hatinya sehingga ukiran kalimah tersebut telah terpahat di hatinya. Amalan zikir seumpama ini masih diamalkan dalam sebilangan besar Tariqat Naqshbandiyah iaitu dengan menggambarkan Kalimah Allah dituliskan pada hati sanubari dengan tinta emas atau perak dan membayangkan hati itu sedang menyebut Allah Allah sehingga lafaz Allah itu benar-benar terpahat di lubuk hati. Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah ini dinisbatkan kepada Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu yang mana telah disepakati oleh sekalian ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai sebaik-baik manusia sesudah Para Nabi ‘Alaihimus Solatu Wassalam. Asas Tariqat ini adalah seikhlas hati menuruti Sunnah Nabawiyah dan menjauhkan diri dari segala jenis Bida’ah merupakan syarat yang lazim. Tariqat ini mengutamakan Jazbah Suluk yang mana dengan berkat Tawajjuh seorang Syeikh yang sempurna akan terhasillah kepada seseorang penuntut itu beberapa Ahwal dan Kaifiat yang dengannya Zauq dan Shauq penuntut itu bertambah, merasakan kelazatan khas zikir dan ibadat serta memperolehi ketenangan dan ketenteraman hati. Seseorang yang mengalami tarikan Jazbah disebut sebagai Majzub. Dalam THORIQOH NAQSYABANDIYAH ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan darjat adalah berdasarkan persahabatan dengan Syeikh dan Tawajjuh Syeikh. Bersahabat dengan Syeikh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat berdamping dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Murid hendaklah bersahabat dengan Syeikh dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan Syeikh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki tangga peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam Tariqat ini adalah sepertimana Para Sahabat menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berkat dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam majlis Hadharat Naqshbandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan dapat merasakan maqam Syuhud dan ‘Irfan yang hanya akan diperolehi setelah begitu lama menuruti jalan-jalan Tariqat yang lain. Kerana itulah Para Akabirin THORIQOH NAQSYABANDIYAH Rahimahumullah mengatakan bahawa, “Tariqat kami pada ‘Ain hakikatnya merupakan Tariqat Para Sahabat”. Dan dikatakan juga, “Dar Tariqah Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum Ast Dar Tariqah Ma Na Khwahad Aamad. ” Yang bermaksud, “Dalam Tariqat kami sesiapa pun tidak diharamkan dan barangsiapa yang telah diharamkan dalam Tariqat kami pasti tidak akan dapat datang. ” Yakni barangsiapa yang menuruti THORIQOH kami, dia takkan diharamkan dari menurutinya dan barangsiapa yang Taqdir Allah semenjak azali lagi telah diharamkan dari menuruti jalan ini, mereka itu sekali-kali takkan dapat menurutinya. Di dalam THORIQOH NAQSYABANDIYAH, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa berjaga-jaga) menduduki maqam yang suci yang mana di sisi Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in dikenali sebagai Ihsan dan menurut istilah Para Sufiyah ianya disebut Musyahadah, Syuhud, Yad Dasyat atau ‘Ainul Yaqin. Ianya merupakan hakikat: “Bahawa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Nya”. Semoga Allah Mengurniakan Kita Taufiq. PERKEMBANGAN THORIQOH NAQSYABANDIYAH ADAPUN gelaran nama THORIQOH NAQSYABANDIYAH ini mula masyhur di zaman Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih. Menurut Hadhrat Syeikh Najmuddin Amin Al-Kurdi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Tanwirul Qulub bahawa nama Tariqat Naqshbandiyah ini berbeza-beza menurut zaman. Di zaman Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu sehingga ke zaman Hadhrat Syeikh Taifur Bin ‘Isa Bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih dinamakan sebagai Shiddiqiyyah dan amalan khususnya adalah Zikir Khafi. Di zaman Hadhrat Syeikh Taifur bin ‘Isa bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan Taifuriyah dan tema khusus yang ditampilkan adalah Cinta dan Ma’rifat. Kemudian di zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan sebagai Khwajahganiyah. Pada zaman tersebut Tariqat ini telah diperkuatkan dengan lapan prinsip asas Tariqat iaitu Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan dan Khalwat Dar Anjuman. Kemudian pada zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ini mulai masyhur dengan nama Naqshbandiyah. Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga asas sebagai penambahan dari Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih iaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani. Pada zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dikenali dengan nama Ahrariyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih. Bermula dari zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini mula dikenali sebagai Mujaddidiyah dan ilmu tentang Lataif Fauqaniyah dan Daerah Muraqabah pun diperkenalkan. Semenjak itu Tariqat ini mulai dikenali dengan nama Naqshbandiyah Mujaddidiyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Mirza Mazhar Jan Janan Syahid Rahmatullah ‘alaih. Kemudian Tariqat ini dikenali dengan nama Mazhariyah sehingga ke zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih. Pada zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih, seorang Syeikh dari Baghdad yang bernama Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih telah datang ke Delhi sekembalinya beliau dari Makkah untuk berbai’ah dengan Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih setelah beliau menerima isyarah dari Ruhaniah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengambil Tariqat ‘Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah ini dan beliau telah membawanya ke negara Timur Tengah. Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih mula memperkenalkan amalan Suluk iaitu Khalwat Saghirah dan Tariqat ini mula dikenali sebagai Naqshbandiyah Khalidiyah di Timur Tengah khususnya di Makkah dan tersebar di kalangan jemaah Haji dari rantau Nusantara dan tersebarlah ia di serata Tanah Melayu dan Indonesia. Walaubagaimanapun di Tanah Hindi, Tariqat ini masih dikenali sebagai Tariqat Naqshbandiyah Mujaddidiyah. Adapun Para Masyaikh Mutaakhirin yang datang sesudah itu sering menambahkan nama nisbat mereka sendiri untuk membezakan Silsilah antara satu dengan yang lain seperti Naqshbandiyah Khalidiyah dan Naqshbandiyah Mujaddidiyah. Silsilah Naqshbandiyah ini telah berkembang biak dari Barat hingga ke Timur. Meskipun Silsilah ini telah dikenali dengan beberapa nama yang berbeza, namun ikatan keruhanian dari rantaian emas yang telah dipelopori oleh Hadhrat Khalifah Rasulullah Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu akan tetap berjalan sehingga ke Hari Qiyamat menerusi keberkatan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kurniakan kepada sekelian Para Masyaikh yang ditugaskan menyambung Silsilah ini. Dalam perjalanan mencapai kebenaran yang hakiki, terdapat dua kaedah jalan yang biasa diperkenalkan oleh Para Masyaikh Tariqat, iaitu sama ada sesebuah Tariqat itu menuruti Tariqat Nafsani ataupun Tariqat Ruhani. Tariqat Nafsani mengambil jalan pendekatan dengan mentarbiyahkan Nafs dan menundukkan keakuan diri. Nafs atau keakuan diri ini adalah sifat Ego yang ada dalam diri seseorang. Nafs dididik bagi menyelamatkan Ruh dan jalan Tariqat Nafsani ini amat sukar dan berat kerana Salik perlu melakukan segala yang berlawanan dengan kehendak Nafs. Ianya merupakan suatu perang Jihad dalam diri seseorang Mukmin. Tariqat Ruhani adalah lebih mudah yang mana pada mula-mula sekali Ruh akan disucikan tanpa menghiraukan tentang keadaan Nafs. Setelah Ruh disucikan dan telah mengenali hakikat dirinya yang sebenar, maka Nafs atau Egonya dengan secara terpaksa mahupun tidak, perlu menuruti dan mentaati Ruh. Kebanyakan jalan Tariqat yang terdahulu menggunakan pendekatan Tariqat Nafsani, namun berbeza dengan Para Masyaikh Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah, mereka menggunakan pendekatan Tariqat Ruhani iaitu dengan mentarbiyah dan mensucikan Ruh Para Murid mereka terlebih dahulu, seterusnya barulah mensucikan Nafs. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memimpin kita ke jalan Tariqat yang Haq, yang akan membawa kita atas landasan Siratul Mustaqim sepertimana yang telah dikurniakanNya nikmat tersebut kepada Para Nabi, Para Siddiqin, Para Syuhada dan Para Salihin. Mudah-mudahan dengan menuruti Tariqat yang Haq itu dapat menjadikan kita insan yang bertaqwa, beriman dan menyerah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seorang Penyair Sufi pernah berkata, Al –‘Ajzu ‘An Darakil Idraki Idraku, Wal Waqfu Fi Turuqil Akhyari Isyraku. Seseorang yang berasa lemah dari mendapat kefahaman adalah seorang yang mengerti; Dan berhenti dalam menjalani perjalanan orang-orang yang berkebaikan adalah suatu Syirik. Apa maksudnya??? ALLAH HUWA ALLAH HAQQ ALLAH HAYY Riwayat Thoriqoh THORIQOH merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf yang mana dengannya seseorang itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan menggantikannya dengan sifat-sifat Akhlaq yang terpuji. Ia juga merupakan Batin bagi Syari’at yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakikat amalan-amalan Salih di dalam Agama Islam. Ilmu Tariqat juga merupakan suatu jalan yang khusus untuk menuju Ma’rifat dan Haqiqat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia termasuk dalam Ilmu Mukasyafah dan merupakan Ilmu Batin, Ilmu Keruhanian dan Ilmu Mengenal Diri. Ilmu Keruhanian ini adalah bersumber dari Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diwahyukan kepada Hadhrat Jibrail ‘Alaihissalam dan diwahyukan kepada sekelian Nabi dan Rasul khususnya Para Ulul ‘Azmi dan yang paling khusus dan sempurna adalah kepada Hadhrat Baginda Nabi Besar, Penghulu Sekelian Makhluk, Pemimpin dan Penutup Sekelian Nabi dan Rasul, Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Alihi Wa Ashabihi Wasallam. Kemudian ilmu ini dikurniakan secara khusus oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada dua orang Sahabatnya yang unggul iaitu Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma. Melalui mereka berdualah berkembangnya sekelian Silsilah Tariqat yang muktabar di atas muka bumi sehingga ke hari ini. Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengurniakan Ilmu Keruhanian yang khas kepada Hadhrat Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhu. Di zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang Tabi’in yang bernama Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu juga telah menerima limpahan Ilmu Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam meskipun dia berada dalam jarak yang jauh dan tidak pernah sampai ke Makkah dan Madinah bertemu Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, sedangkan beliau hidup pada suatu zaman yang sama dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pada tahun 657 Masihi Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu Wa Rahmatullah ‘Alaih telah membangunkan suatu jalan Tariqat yang mencapai ketinggian yang terkenal dengan Nisbat Uwaisiyah yang mana seseorang itu boleh menerima limpahan Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sekelian Para Masyaikh Akabirin meskipun pada jarak dan masa yang jauh. Di dalam kitab ‘Awariful Ma’arif ada dinyatakan bahawa di zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma telah menghidupkan perhimpunan jemaah-jemaah dimana upacara Bai’ah dilakukan dan majlis-majlis zikir pun turut diadakan. Tariqat menurut pengertian bahasa bererti jalan, aliran, cara, garis, kedudukan tokoh terkemuka, keyakinan, mazhab, sistem kepercayaan dan agama. Berasaskan tiga huruf iaitu huruf Ta, Ra dan Qaf. Ada Masyaikh yang menyatakan bahawa huruf Ta bererti Taubat, Ra bererti Redha dan Qaf bererti Qana’ah. Lafaz jamak bagi Tariqat ialah Taraiq atau Turuq yang bererti tenunan dari bulu yang berukuran 4 hingga 8 hasta dan dipertautkan sehelai demi sehelai. Tariqat juga bererti garisan pada sesuatu seperti garis-garis yang terdapat pada telur dan menurut Al-Laits Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ialah tiap garis di atas tanah, atau pada jenis-jenis pakaian. Ijazah seorang Syekh dalam silsilah tarekat Dalam tasawuf, seperti dalam setiap disiplin Islam yang serius seperti fiqh, tajwid, dan hadis, seorang murid harus memiliki master atau 'syekh' dari siapa mengambil pengetahuan, orang yang dirinya telah diambil dari master, dan begitu pada, dalam rantai master terus kembali kepada Nabi (sallallahu `alaihi wa sallam) yang adalah sumber segala pengetahuan Islam. Dalam tradisi Sufi, ini berarti tidak hanya bahwa Syekh ini telah bertemu dan mengambil tarekat dari master, tetapi bahwa guru selama hidupnya telah secara eksplisit dan diverifikasi diinvestasikan murid - baik secara tertulis atau di depan sejumlah saksi - untuk mengajarkan jalan spiritual sebagai master berwenang (murshid ma'dhun) untuk generasi murid penerus. Silsila tersebut transmisi dari garis lurus dari master adalah salah satu kriteria yang membedakan jalan sufi yang benar 'berhubungan' (tarekat muttasila), dari jalan 'diputus' tidak otentik atau, (tarekat munqati'a). Pemimpin jalan yang diputus bisa mengklaim sebagai syekh berdasarkan izin yang diberikan oleh Syeikh dalam keadaan diverifikasi pribadi atau lainnya, atau oleh seorang tokoh yang telah meningal dunia ini, seperti salah satu dari orang soleh atau Nabi sendiri (sallallahu `alaihi wa sallam), atau dalam mimpi, dan sebagainya. Praktek ini hanya "menghangatkan hati" (biha yusta'nasu) tetapi tidak memenuhi kondisi tasawuf yang seorang Syekh harus memiliki otorisasi ijazah yang jelas menghubungkan dia dengan Nabi (sallallahu `alaihi wa sallam), salah satu yang bisa diverifikasi oleh orang lain daripada dirinya sendiri. Banyak kebohongan diberitahu oleh orang-orang, dan tanpa otorisasi atau ijazah yang bisa diverifikasi oleh publik, tarekat akan dikompromikan oleh mereka. Beberapa Tokoh dalam Thoriqoh Naqsyabandiyah • Imam Tariqah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Uwaisi Al-Bukhari • Hadhrat Mawlânâ Khâlid-i Baghdâdî • Hadrat Syaikh KRM Muhammad Irfa'i Nahrawi An Naqsyabandi Al Hajj QS (Ki Ageng Atas Angin, Kasepuhan Atas Angin Ciamis)[1] • Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini • Syaikhul Masyaikh Khwajah Khwajahgan Pir Piran Maulana Khwajah Khan Muhammad Sahib Khanqah Sirajiah • Maulana Ameer Muhammad Akram Awan • Imam Shamil • Jami • Shaykh Said Afandi al-Chirkawi • Shaikh Abdul Wahab Babussalam Langkat[2] • Shaikh Umar bin Muhammad Batu Pahat[3] • Shaikh Imam Hj Ishaq bin Hj Muhammad 'Arif al-Jawi[4] • Shaikh Dr Hj Jahid bin Hj Sidek al-Khalidi An-Naqshabandi[5] • Shaikh Ma'aruf Lengging • Shaykh Nazim al-Qubrusi • Abdullah Fa'izi ad-Daghestani • Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin • Shaykh Muhammad Hisham Kabbani • Professor Sibghatullah Mojaddedi • Haji Soofi Masood Ahmad Siddiqui Lasani Sarkar • Ahmet Kayhan Dede • Abdullah Isa Neil Dougan • Irina Tweedie • Idries Shah • Muchsin Al-Hinduan • Omar Ali Shah • Hazrat Mujadid Abdul Wahab Siddiqi • Shaykh Faiz-ul-Aqtab Siddiqi • Syed Abdullah Shah Naqshbandi • Mohammed Amin Kuftaro • Khalid al-Baghdadi • Mukhsin Bin Ali Al-Hinduan • Prof. Dr. H. Saidi Syaikh Kadirun Yahya Muhammad Amin Al Halidi Naqsyabandi QS • Faqir Maulawi Jalalluddin Ahmad Ar-Rowi Naqshbandi Mujaddidi • Hazrat Nachrawi An-Naqsyabandie QS • Syeikh Raja Ashman Shah an-Naqshabandi • Sheikh Nursy Al-Naqsyabandiah • Sheikh Abdul Wahab b. Abdul Manaf ALKholidi, cicit Sheikh Abdul Wahab Rokan ALKholidi (Mursyid di Jerlun, Kuala Kangsar) • Sheikh Haji Zainuddin bin Haji Alang Ahmad Al-Kholidi • Sheikh Haji Hashim b. Haji Hassan Al-Kholidi, Mursyid di Pekan Cendawan, Ipoh • Sheikh Haji Suhaimi Khalis b. Haji Ishak Al-Kholidi, Mursyid di Greenwood, Gombak. Beberapa tokoh Thoriqoh Naqsyabandiyah Indonesia • 1. Hadrat Syaikh KRM Nahrawi QS yang dikenal dengan karomah2nya, juga berjasa melatih Prajurit Siliwangi pada jaman kemerdekaan. Beliau memiliki silsilah dari Kerajaan Mataram dan juga silsilah darah ke Nabi Muhammad saw. • 2. Hadrat Syaikh KRM Muhammad Irfa'i Nahrawi An Naqsyabandi Al Hajj QS (Ki Ageng Atas Angin, Kasepuhan Atas Angin Ciamis)masih memiliki silsilah dari Kerajaan Mataram dan juga silsilah darah ke Nabi Muhammad saw[6] • 3. Yang di muliakan Allah Tuan Guru Dr Syekh Salman Daim Mursyid Tareqat Naqsbandiyah Alkholidiyah Jalaliyah Bandr Tinggi Sumatera Utara Indonesia • 4. Tn Guru SM Karimuddin, Mursyid Pondok Pesantren Darul Hikmah Bahjoga • 5. KH Muhammad Arifin Syah MPd, Mursyid pondok pesantren Nurul Hidayah, Sibargot. • 6. SM Andra Najmu Assyihab, Pimpinan pondok pesantren Darul Maimanah, Manuk dadali, Sibolga. Sedangkan Beliau yang banyak dikenal di seluruh Nusantara: Hadrat Syech Ahmad Shohibulwafa Tajjul Ariefin (Abah Anom) Ibni Sayyidii Syech Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) Nulinggih di Patapan Kajembaran Rahmaniyah Suryalaya Pagerageung Tasikmalaya Jawa Barat Indonesia adalah Mursyid Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Terkenal besarnya Naqsyabandi, sehingga banyak Thoriqoh lain menambahkan wa Naqsyabandiyah pada nama Thoriqohnya, seperti Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, dll. Naqsyabandi dikenal besar dunia karena terkenalnya kejayaan Hadrat Syaikh Khalid Al Bagdadi, yang selain menjadi Mursyid juga sekaligus penguasa terbesar pada jamannya. Juga Al Fatih, Sultan Muhammad II yang juga berguru kepada Guru Mursyid Thoriqoh Naqsyabandi. Namanya telah tercatat dalam hadist sebagai sebaik-baik pemimpin dan pasukannya adalah sebaik-baik pasukan. • Advertisement Selamat datang di Wikipedia bahasa Indonesia! [tutup] Tarekat Syadziliyah Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini. Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini. Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampilkan] di bagian kanan.[tampilkan] Artikel ini tidak memiliki referensi sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa diverifikasi. Bantulah memperbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Artikel yang tidak dapat diverifikasikan dapat dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. Artikel ini sebatang kara, artinya hanya sedikit atau tidak ada artikel lain yang berpaut ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan. Tarekat Syadziliyah adalah tarekat Islam yang berkembang di Indonesia. Daftar isi • 1 Pendiri Tarekat Syadziliyah • 2 Intisari tarekat • 3 Silsilah • 4 Wejangan dasar • 5 Perkembangan Tarekat • 6 Demografik para pengikut • 7 Contoh Hizib Al Barr (Daratan) • 8 Amalan-Amalan • 9 Pengaruh dan Cabang-Cabang Tarekat Syadziliyyah • 10 Kata-Kata Hikmah o 10.1 Catatan kaki Pendiri Tarekat Syadziliyah Tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang dipelopori oleh Syeh Abul Hasan Asy Syadzili. Nama Lengkapnya adalah Abul Hasan Asy Syadzili al-Hasani bin Abdullah Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushay bin Yusuf bin Yusya' bin Ward bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad anak pemimpin pemuda ahli surga dan cucu sebaik-baik manusia: Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a dan Fatimah al-Zahra binti Rasulullah SAW.[1]. Nama kecil Syeh Abul Hasan Asy Syadzili adalah Ali, gelarnya adalah Taqiyuddin, Julukanya adalah Abu Hasan dan nama populernya adalah Asy Syadzili. al-Syadzili lahir di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah pada tahun 593 H(1197 M). menghapal al-Quran dan pergi ke Tunis ketika usianya masih sangat muda. Ia tinggal di desa Syadzilah. Oleh karena itu, namanya dinisbatkan kepada desa tersebut meskipun ia tidak berasal dari desa tersebut.[1] Intisari tarekat Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya. Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah. Silsilah Sanad dan Silsilah Tariqah • As-Syaikh As-Sayyid Abil Hasan Asy-Syadzili ra drp • As-Syaikh Abdus Salam b Mashish ra drp • As-Syaikh Muhammad bin Harazim ra drp • As-Syaikh Muhammad Salih ra drp • As-Syaikh Shuaib Abu Madyan ra drp • As-Syaikh As-Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani ra drp • As-Syaikh Abu Said Al-Mubarak ra drp • As-Syaikh Abul Hasan Al-Hukkari ra drp • As-Syaikh At-Tartusi ra drp • As-Syaikh Asy-Shibli ra drp • As-Syaikh Sari As-Saqati ra drp • As-Syaikh Ma'ruf Al-Kharkhi ra drp • As-Syaikh Daud At-Tai ra drp • As-Syaikh Habib Al-Ajami ra drp • Imam Hasan Al-Basri ra drp • Sayyidina Ali bin Abu Talib ra drp • Sayyidina Muhammad saw Sanad Nasab Abil Hasan Asy-Syadzili • As-Sayyid Asy-Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzili bin • Ali bin • Abdullah bin • Tamim bin • Hurmuz bin • Hatim bin • Qusay bin • Yusuf bin • Yusya bin • Ward bin • Bathaal bin • Ali bin • Ahmad bin • Muhammad bin • Isa bin • Muhammad bin • Abi Muhammad bin • Imam Hasan bin • Sayyidna Ali ra dan Sayyidatina Fathimah binti • Rasulullah Sayyidina Muhammad saw. Wejangan dasar 1. Tauhid dengan sebenar-benarnya tauhid yang tidak musrik kepada Allah. 1. Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt. 1. Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur. 1. Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal). 1. Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah. 1. Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah. Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut: Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi. Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya. Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya. Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya. Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar. Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif. Perkembangan Tarekat Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita." Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi. Demografik para pengikut Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar. Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini. Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat. Contoh Hizib Al Barr (Daratan) Amalan-Amalan Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, Hizb Barr disamping Hizib al-Hafidzah, merupakan Hizib-Hizib yang terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan dan bermanfaat dalam meningkatkan kadar ibadah kepada Allah. Sebagai contoh, Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya doa ini baik dan tidak bertentangan dengan Sunatulloh dan Sunnatur Rosul. Untuk pengamalan hizb ini sebaiknya dalam bimbingan guru yang mengamalkannya. Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah. Akan tetapi yang utama adalah Hizb tersebut dipergunakan untuk meningkatkan kadar ibadah yang sebenarnya kepada Allah. Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia bukan hanya merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkah dan menjamin respon supra natural dan yang terpenting adalah mendapatkan ridha Allah. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa berlandaskan Al Qur'an dan tuntunan Rosululloh SAW, sebab murid tersebut sedang mengikuti suatu pelatihan dari sang guru untuk dapat beribadah kepada Allah dengan benar. Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin tingkah laku islami, pemahaman, adab hati, penyaksian, pembuktian yang sangat dahsyat. Pengaruh dan Cabang-Cabang Tarekat Syadziliyyah Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- HasyimiyyaH dan 'Alawiyah Kata-Kata Hikmah Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili: Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji itu milik Allah. Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkan keridhoan Allah ta'ala, dan jangan duduk dimajelis kecuali majelis yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah." Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ikhtiar sendiri. Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk dapat selalu taat kepada Allah yang memiliki pemelihara dirimu. Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' dan ni'mat yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya di dalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya dan bersyukur atas syukur yang mendalam. Sedikit amal dengan mengakui dan mensyukuri karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal. Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT. • طبيب الطب النبوي | Dokter Pengobatan Nabawi | Bekam, Fatwa Kesehatan dan Thibbun Nabawi • Home • Arsip Postingan • BIOGRAFI • E-Book, MP3 Kajian Salaf dan Murottal Gratis • LABORATORIUM NORMAL • LINK • MP3 Ulama Salafy • PROFIL • Tempat Kajian Salafy « CERAI/TALAK GUGAT DALAM ISLAM : Isteri Ingin Berpisah dengan Suami | Hukum Khulu’ menurut Islam | Hukum Istri Yang Ingin Bercerai Dari Suaminya Tanpa Alasan Syar’i (KISAH SUFY TOBAT) : Kenapa saya keluar dari Sufi “Tarekat/Tariqat Qodiriyah”? | Sejarah, Prinsip Dasar dan Ajaran Tarekat Sufy Qodiriyah | Dalam ibadahnya mereka berdiri, berdzikir, melompat, goyang ke kiri dan ke kanan dengan menyebut lafadz ( الله…) ( الله…) | Salah seorang Sufy diantara mereka berdzikir dengan bertepuk tangan » 12 Jun (bagus) TAREKAT NAQSYABANDIYAH : Kenapa saya keluar dari Sufi “Tarekat/Tariqat/Tariqah Naqshbandiyah/Naqsyabandiyah”? | Sejarah, Prinsip Dasar dan Ajaran Tarekat Sufy Naqsyabandiyah | Posted 12 June, 2012 by dr.Abu Hana | أبو هـنـاء ألفردان | in Sunnah dan Bid'ah (السنة والبدعة). Tagged: dzikir naqsyabandiyyah, Habib alaydrus bandar lampung, Habib ali (Pengasuh majelis Asy-syifa lampung), Kyai Muhammad Fakhurrijal (mudir Ponpes darussa’adah), Penelusuran yang terkait dengan tarekat naqsyabandiyah, salafy & naqsyabandiyyah, sejarah naqsyabandi, sejarah tarekat naqsabandiyah, tarekat islam, tarekat menurut salafy, tarekat naqsabandiyah, tarekat naqsyabandiyah al khalidiyah, tarekat naqsyabandiyah kadirun yahya, tarekat naqsyabandiyah sesat, tarekat qodiriyah, tarekat sesat, Tata Cara Thoriqoh, Tata Cara Thoriqoh Qodiriyah Wan-Naqsyabandiyah. 83 Comments 22 Votes (bagus) TAREKAT NAQSYABANDIYAH : Kenapa saya keluar dari Sufi “Tarekat/Tariqat/Tariqah Naqshbandiyah/Naqsyabandiyah”? | Sejarah, Prinsip Dasar dan Ajaran Tarekat Sufy Naqsyabandiyah | Tarekat/Tariqat/Tariqah Naqshbandiyah/Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Dagestan, Russia. Kata Naqsyabandiyah/Naqsyabandi/Naqshbandi نقشبندی berasal dari Bahasa Arab iaitu Murakab Bina-i dua kalimah Naqsh dan Band yang bererti suatu ukiran yang terpateri, atau mungkin juga dari Bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya yaitu Baha-ud-Din Naqshband. Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai “pembuat gambar”, “pembuat hiasan”. Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai “Jalan Rantai”, atau “Rantai Emas”. Tarekat ini didirikan oleh Imam Tariqat Hadhrat Khwajah Khwajahgan Sayyid Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi , dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717 Hijrah bersamaan 1317 Masihi iaitu pada abad ke 8 Hijrah bersamaan dengan abad ke 14 Masihi di sebuah perkampungan bernama Qasrul ‘Arifan berdekatan Bukhara. Ia menerima pendidikan awal Tariqat secara Zahir dari gurunya Hadhrat Sayyid Muhammad Baba As-Sammasi dan seterusnya menerima rahsia-rahsia Tariqat dan Khilafat dari Syeikhnya, Hadhrat Sayyid Amir Kullal . Shah Naqshband telah berkata: Pada suatu hari aku dan sahabatku sedang bermuraqabah, lalu pintu langit terbuka dan gambaran Musyahadah hadir kepadaku lalu aku mendengar satu suara berkata, “Tidakkah cukup bagimu untuk meninggalkan mereka yang lain dan hadir ke Hadhrat Kami secara berseorangan?”…………. ******** Berikut ini kisah perjalanan dakwah Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafidzahullah sebelum beliau mengenal dakwah Salafiyah. Bagaimana kesesatan Shufi yang banyak menyimpang dari tauhid menemani langkah dakwah beliau. Mengikuti Thariqat Naqsabandiyah Sejak kecil saya selalu mengikuti pelajaran dan halaqoh dzikir di masjid. Suatu ketika, pemimpin tarekat Naksabandiyyah melihatku, lalu ia mengajakku ke pojok masjid dan memberiku wirid-wirid tarekat Naksabandiyyah. Namun, karena usiaku yang masih belia, saya belum mampu membaca wirid-wirid itu sesuai dengan petunjuknya, tetapi saya tetap mengikuti pelajaran mereka bersama teman-teman saya dari pojokan masjid. Saya mendengar lantunan qasidah dan nyanyian mereka, dan ketika sampai pada penyebutan nama syaikh mereka, dengan serta merta mereka meninggikan dan mengeraskan suara. Teriakan keras di tengah malam ini sangat menggangguku dan membuatku takut dan merinding. Dan ketika usiaku semakin menajak dewasa, salah seorang kerabat mengajakku ke masjid di daerah kami untuk mengikuti acara yang mereka namakan al-khatam. Kami duduk melingkar, kemudian salah seorang syaikh membagikan kepada kami batu-batu kecil dan berkata:”Al-Fatihah Asy-Syarif dan Al-Ikhlash Asy-Syarif”. Lalu dengan jumlah batu-batu kecil itu kami membaca surat Al-Fatihah, surat Al-Ikhlash, istighfar dan sholawat dengan bentuk bacaan sholawat yang telah mereka hafal. Diantara bentuk sholawat yang saya ingat adalah اللّهُمَ صَلِّ عَلىَ محَُمَّدٍ عَدَدَ الدَّوَابِّ “Ya Allah, berilah sholawat untuk Muhammad sebanyak binatang melata” Mereka membaca sholwat ini dengan suara keras di akhir dzikir. Dan selanjutnya, syaikh yang ditugaskan itu menutupnya dengan ucapan rabithah syarifah (ikatan mulia). Mereka mengucapkannya dengan tujuan membayangkan wujud syaikhnya saat menyebut namanya, karena syaikh itulah –menurut mereka- yang mengikat mereka dengan Allah Azza wa Jalla. Mereka merendahkan suara kemudian berteriak dan terbuai dalam kekhusyu’an, saat itu saya melihat salah seorang diantara mereka melompat ke atas kepala orang-orang yang hadir dari tempat yang tinggi karena kesedihan yang mendalam bagaikan permainan sulap. Saya heran dengan tingkah dan suara yang keras ini ketika menyebut nama syaikh tarekat mereka. Suatu ketika saya berkunjung ke rumah salah seorang kerabatku dan mendengarkan lantunan nyanyian dari kelompok tarekat Naksabandiyyah, yang berbunyi: دَلُوْنِيْ بِاللهِ دَلُوْنِيْ # # # # # عَلَى شَيْخِ النَّصْرِ دَلُوْنِي Tunjuki aku, demi Allah, tunjuki aku. Kepada syaikh penolong, tunjuki aku اللَّي يُبْرِي العَلِيْلَ ##### وَيَشْفِي المَجْنُوْنَا Syaikh yang menyembuhkan orang yang sakit. Dan menyembuhkan orang yang gila Saya berdiri di depan pintu rumah, dan belum sempat masuk ke dalam, lalu berkata kepada tuan rumah:”Apakah syaikh itu yang menyebabkan orang yang sakit dan orang gila?”. Ia menjawab: ”Ya, yang telah diberikan Allah Azza wa Jalla mukjizat menghidupkan orang yang mati, menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit sopak, tetapi ia tetap mengatakan “dengan izin Allah”. Kemudian ia berkata kepadaku:”Dan syaikh kami juga melakukannya dengan izin Allah”. Lalu saya menyanggahnya:”Tetapi mengapa Anda tadi tidak mengatakannya ‘dengan izin Allah’?”. Karena penyembuh yang sebenarnya adalah Allah Azza wa Jalla semata, sebagaimana perkataan Ibrohim ‘alaihi salam dalam Al-Qur’an: {وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ} (80) سورة الشعراء “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS. Asy-Syu’ara: 80). ***** Beberapa Catatan Tentang Thariqat Naqsabandiyah 1. Ciri khusus tarekat ini adalah wirid-wirid mereka yang tidak dikeraskan. Jadi tarekat ini tidak mengandung tari-tarian dan tepuk tangan sebagaimana pada tarekat-tarekat lainnya. 2. Dzikir-dzikir yang dilakukan secara berkelompok dan pembagian batu-batu kecil untuk setiap orang, lalu mereka diperintahkan membaca sesuatu dan meletakkan batu-batu kecil di dalam gelas berisi air untuk diminum dengan niat kesembuhan, semuanya itu adalah termasuk perbuatan bid’ah yang pernah diingkari oleh salah seorang sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu ketika masuk ke dalam masjid dan melihat sekelompok orang yang duduk melingkar dan ditangan mereka terdapat batu-batu kecil. Salah seorang diantara mereka berkata:”Bertasbihlah kalian sebanyak batu-batu kecil yang ada di tangan kalian!”. Beliau mencela perbuatan mereka sambil berkata:”Perbuatan apa yang kalian lakukan ini?”.Mereka menjawab:’Wahai Abu Abdurrahman, kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan batu-batu ini”. Lalu beliau berkata:”Hitunglah dosa-dosa kalian, dan saya menjamin bahwa segala kebaikanmu tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celakalah kalian wahai umat Muhammad, mengapa begitu cepat kalian binasa? Sahabat-sahabat Rasul kalian masih banyak yang masih hidup, baju mereka belum hancur, perabot mereka belum pecah, dan demi jiwaku ada di tangan-Nya. Apakah petunjuk kalian lebih baik dari petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah kalian telah membuka pintu kesesatan?!” [1] Jika kita menggunakan logika yang murni, apakah mungkin petunjuk mereka yang lebih baik dari pada petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka telah mendapatkan taufik (petunjuk) untuk melaksanakan suatu amalan yang tidak diketahui oleh beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam?, atau mungkin mereka yang sesat?. Kemungkinan pertama jelas salah, karena tidak ada seorangpun yang lebih baik dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian, berarti tersisa kemungkinan yang terakhir. 3. Rabithah Syarifah (ikatan mulia). Istilah ini menurut mereka adalah gambaran wujud syaikh, seolah-olah ia datang mengawasi mereka ketika namanya disebut dalam dzikir. Sehingga kita dapat melihat bagaimana mereka melakukannya dengan penuh kekhusyu’an dan berteriak-teriak dengan suara yang tidak jelas. Dan inilah derajat ihsan yang sebenarnya, yang menurut mereka dijelaskan dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه, فإن لم تكن تراه فإنه يراك (رواه مسلم). “Ihsan itu adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu” (HR. Muslim). Dalam hadits ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk agar kita menyembah Allah seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak meliaht-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat kita. Inilah derajat ihsan yang ditujukan hanya kepada Allah Azza wa jalla semata. Tetapi mereka justru mempersembahkan ihsan itu untuk syaikh mereka. Dan ini termasuk perbuatan syirik yang dilarang Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya: {وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا …} (36) سورة النساء “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun…”(QS. An-Nisa: 36). Jadi, dzikir itu adalah ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah Azza wa Jalla semata dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Walaupun ia malaikat, seorang Rasul maupun seorang syaikh yang justru kedudukannya di bawah para Rasul. Sehingga larangan mempersekutukan Allah Azza wa Jalla dengan mereka menjadi lebih jelas. Sebenarnya penggambaran syaikh mereka ketika menyebutkan namanya juga terdapat dalam tarekat Syadzaliyyah. 4. Teriakan keras yang mereka lakukan ketika menyebut nama syaikh mereka atau ketika memohon pertolongan kepada selain Allah, seperti kepada ahlul bait dan orang-orang yang dekat kepada Allah Azza wa Jalla adalah termasuk perbuatan mungkar bahkan termasuk perbuatan syirik yang sangat dilarang. Berteriak dengan suara keras ketika menyebut nama Allah Azza wa Jalla adalah suatu kemungkaran, karena bertentangan dengan firman Allah: {إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ …} (2) سورة الأنفال “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka…”(QS. Al-Anfal: 2). Juga bertentangan dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: أيها الناس اربعوا على أنفسكم, فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا, إنكم تدعون سميعا قريبا وهو معكم (رواه البخاري و مسلم). “Wahai manusia sekalian, kasihanilah diri kalian (pelan-pelan dalam berdo’a) karena kalian tidak memanjatkan do’a kepada Dzat yang tuli dan Dzat yang tiada, tetapi kalian memanjatkan do’a kpada Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia selalu bersamamu” (HR. Bukhori; Muslim). Bila menyebut nama Allah Azza wa Jalla dengan suara yang keras itu dilarang, maka berteriak, khusyu’ dan menangis ketika menyebut nama syaikh mereka termasuk kemungkaran yang lebih besar. Karena perbuatan ini termasuk bentuk “kegembiraan” yang digambarkan oleh Allah Azza wa Jalla tentang keadaan orang-orang musyrik dalam firman-Nya: {وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ} (45) سورة الزمر “Dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati”(QS. Az-Zumar: 45). 5. Sikap ghuluw terhadap tarekat serta keyakinan bahwa syaikh mereka itulah yang dapat menyembuhkan orang yang sakit. Padahal Allah Azza wa Jalla menyebutkan perkataan Nabi Ibrohim dalam Al-Qur’an: {وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ} (80) سورة الشعراء “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS. Asy-Syu’ara: 80). Demikian juga dengan kisah seorang pemuda mukmin yang berdo’a kepada Allah untuk orang-orang yang sakit, lalu Allah Azza wa Jalla menyembuhkan mereka, ketika seorang kerabat raja berkata kepadanya:”Kamu akan mendapatkan harta yang banyak ini, jika engkau dapat menyembuhkanku”. Kemudian pemuda itu berkata:”Saya tidak dapat menyembuhkan seseoang, karena yang dapat menyembuhkan itu adalah Allah Azza wa Jalla, jika engkau beriman kepada Allah Azza wa Jalla maka saya akan memohon kepada Allah Azza wa Jalla dan menyembuhkanmu” (HR. Muslim). 6. Penyebutan lafadz tunggal “Allah” ribuan kali adalah wirid mereka. Padahal dzikir dengan menggunakan lafadz “Allah” tidak memiliki landasan syar’I, baik dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, para tabi’in, maupun dari para imam-imam mujtahidin. Perbuatan ini diadopsi dari perbuatan bid’ah orang-orang shufi. Karena lafadz “Allah” dalam bahasa arab adalah mubtada’ yang tidak mengandung khobar, sehingga kalimat itu menjadi tidak lengkap. Seandainya seseorang menyebut nama “Umar” berkali-kali dan kita bertanya kepadanya:”Apa yang Anda inginkan dari Umar?”. Kemudian orang tersebut tidak menjawab apa-apa kecuali dengan menyebutkan nama “Umar, Umar…” berkali-kali, maka kita tidak akan mengatakan bahwa ia adalah orang gila, tidak memahami apa yang ia ucapkan. Orang-orang shufi ketika berdzikir dengan menggunakan lafadz tunggal tersebut, berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla: {… قُلِ اللّهُ …} (91) سورة الأنعام “Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)” (QS. Al-An’am: 91). Seandainya mereka membaca penggalan ayat sebelumnya, tentu mereka akan paham, bahwa maksud ayat itu adalah:”Katakanlah: Allah-lah yang menurunkan kitab itu”. Adapun nash ayat yang dimaksud adalah firman-Nya: {وَمَا قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَى بَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ مُوسَى نُورًا وَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا وَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ} (91) سورة الأنعام Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.” Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)” (QS. Al-An’am: 91). Maksudnya adalah:”Katakanlah: Allah-lah yang menurunkan kitab Taurat itu”. Catatan Kaki: [1] HR. Ad-Darimi dan Ath-Thabariy. Hadits Hasan. ****** TAREKAT SUFI NAQSYABANDIYAH Pertanyaan. Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya: Ada sebuah perkumpulan wanita dari Kuwait. Mereka menyebarkan dakwah sufi beraliran Naqsyabandiyah secara sembunyi-sembunyi perkumpulan wanita tersebut berada dibawah naungan lembaga resmi. Kami telah mempelajari kitab-kitab mereka & berdasarkan pengakuan mereka yg pernah ikut perkumpulan wanita ini tarekat ini memiliki pemahaman diantaranya: (a). Barangsiapa yg tdk mempunyai syaikh maka yg menjadi syaikhnya adalah syetan. (b). Barangsiapa yg tdk bisa mengambil ahlak syaikh/gurunya maka tdk akan bermanfaat baginya Kitab & Sunnah. (c). Barangsiapa yg mengatakan pd syaikhnya “Mengapa begitu?” Maka tak akan sukses selamanya. Selain itu mereka berdzikir (dengan tata cara sufi tentunya) seraya membawa gambar syaikhnya. Mereka suka mencium tangan gurunya yg bergelar Al-Anisaa & berasal dari negeri Arab. Mereka menganggap akan mendapat berkah dg meminum air sisa sang gurunya. Mereka menulis do’a dg do’a khusus yg dinukil dari buku Al-Lu’lu wa Al-Marjan Fi Taskhiri Muluki Al-Jann. Dan dalam lapangan pendidikan perkumpulan ini membangun madarasah khusus utk kalangan sendiri mereka didik anak-anak berdasarkan ide-ide kelompoknya bahkan ada di antaranya yg mengajar di sekolah-sekolah negeri umum baik jenjang setingkat SMP maupun SMA. Sebagian mereka ada yg berpisah dg suami & meminta cerai lewat pengadilan hal itu terjadi manakala sang suami menyuruh sang istri agar menjauh dari aliran yg sesat ini. Pertanyaan yg kami ajukan: . Bagaimanakah menurut syariat tentang perkumpulan wanita tersebut?. . Diperbolehkan mengawini mereka?. . Bagaimana pula hukumnya dg akad nikah yg telah berlangsung selama ini?. . Sekarang nasihat & ancaman yg bagaimana yg pantas utk mereka?. Mohon penjelasan. Jawaban. Tarekat sufi salah satunya Naqsyabandiyah adalah aliran sesat & bid’ah menyeleweng dari Kitab & Sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Artinya: Jauhilah oleh kalian perkara baru karena sesuatu yg baru (di dalam agama) adalah bid’ah & setiap bid’ah adalah sesat”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad Abu Dawud Ibnu Majah Tirmidzi & Hakim) Tarekat sufi tdk semata bid’ah. Bahkan di dalamnya terdapat banyak kesesatan & kesyirikan yg besar hal ini dikarenakan mereka mengkultuskan syaikh/guru mereka dg meminta berkah darinya & penyelewengan-penyelewengan lainnya bila dilihat dari Kitab & Sunnah. Diantaranya pernyataan-pernyataan kelompok sufi sebagaimana telah diungkap oleh penanya. Semua itu adalah pernyataan yg batil & tdk sesuai dg Al-Qur’an & Sunnah sebab yg patut diterima perkataannya secara mutlak adalah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman Allah. “Artinya: Apa yg diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yg dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (Al-Hasyr: 7) “Artinya: Dan tidaklah yg diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya”. (An-Najm: 3) Adapun selain Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam walau bagaimana tinggi ilmunya perkataannya tdk bisa diterima kecuali kalau sesuai dg Al-Kitab & Sunnah. Adapun yg berpendapat wajib metaati seseorang selain Rasul secara mutlak hanya lantaran memandang “si dia/orang”nya maka ia murtad (keluar dari Islam). Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya & rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah & (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam ; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa ; tdk ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yg mereka persekutukan”. (At-Taubah: 31) Ulama menafsirkan ayat ini bahwa makna kalimat “menjadikan para rahib sebagai tuhan” ialah bila mereka menta’ati dalam menghalalkan apa yg diharamkan & mengharamkan apa yg dihalalkan. Hal ini diriwayatkan dalam hadits Adi bin Hatim. Maka wajiblah berhati-hati terhadap aliran sufi baik dia laki-laki / perempuan demikianlah pula terhadap mereka yg berperan dalam pengajaran & pendidikan yg masuk kedalam lembaga-lembaga. Hal ini agar tdk merusak aqidah kaum muslimin. Lantas diwajibkan pula kepada seorang suami utk melarang orang-orang yg menjadi tanggung jawabnya agar jangan masuk ke dalam lembaga-lembaga tersebut ataupun sekolah-sekolah yg mengajarkan ajaran sufi. Hal ini sebagai upaya memelihara aqidah serta keluarga dari perpecahan & kebejatan para istri terhadap suaminya. Barangsiapa yg merasa cukup dg aliran sufi maka ia lepas dari manhaj Ahlus Sunnah wa Jamaah jika berkeyakinan bahwa syaikh sufi dapat memberikan berkah / dapat memberikan manfa’at & madharat menyembuhkan orang sakit memberikan rezeki menolak bahaya / berkeyakinan bahwa wajib menta’ati setiap yg dikatakan gurunya/syaikh walaupun bertentangan dg Al-Kitab & As-Sunnah. Barangsiapa berkeyakinan dg semuanya itu maka dia telah berbuat syirik terhadap Allah dg kesyirikan yg besar dia keluar dari Islam dilarang berloyalitas padanya & menikah dengannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrikah sebelum mereka beriman ………. Dan janganlah kalian menikahkan (anak perempuan) dg laki-laki musyrik sebelum mereka beriman ……..”. (Al-Baqarah: 221) Wanita yg telah terpengaruh aliran sufi akan tetapi belum sampai pd keyakinan yg telah kami sebutkan diatas tetap tdk dianjurkan utk menikahinya. Entah itu sebelum terjadi aqad ataupun setelahnya kecuali bila setelah dinasehati & bertaubat kepada Allah. Yang kita nasehatkan adalah bertaubat kepada Allah kembali kepada yg haq meninggalkan aliaran yg batil ini & berhati-hati terhadap orang-orang yg menyeru kepada kejelekan-kejelekan. Hendaknya berpegang teguh dg manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah membaca buku-buku bermanfa’at yg berisi tentang aqidah yg shahih mendengarkan pelajaran muhadharah & acara-acara yg berfaedah yg dilakukan oleh ulama yg berpegang dg teguh pd manhaj yg benar. Juga kita nasehatkan kepada para istri agar taat kepada suami mereka & orang-orang yg bertanggung jawab dalam hal-hal yg ma’ruf. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya. Sumber: http://sunniy.wordpress.com/buku-sunniy-chm/ http://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Naqsyabandiyah Jangan dilewatkan, baca juga: BID’AHKAH MOTOR : “Dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bid’ah,” “apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!” “kalau memang maulidan bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga bid’ah.” (bagus) BACAAN TEKS SHOLAWAT NABI : CARA SHOLAWATAN, KEUTAMAAN/FAEDAH “SHALAWAT NABI” YANG BENAR/DICONTOHKAN ROSULULLAH | FITNAH “SUFI TAREKAT “YANG MENGATAKAN BAHWA SALAFY-WAHABY “ANTI SHOLAWAT” MERASA PALING BENAR SENDIRI..? Emangnya TIDAK ADA KEBENARAN YANG HAKIKI ? Penjelasan bagi Mereka Yang Belum Bisa Membedakan Antara Masalah Khilafiyyah dengan Ijtihadiyyah HAKEKAT SIKAP SOMBONG/TAKABBUR : Menolak kebenaran apabila bertentangan dengan hawa nafsunya dan Merendahkan manusia « SUARA RAKYAT SUARA TUHAN ? Latihan Menulis – Workshop Two Days, BP School of Writing » SILSILAAH MASYAIKH THARIQAH AN NAQSABANDIYAH AL MUJADDADIYAH AL KHALIDIYAH Desember 9, 2010 oleh Abu Alkayyis SILSILAAH MASYAIKH THARIQAH AN NAQSABANDIYAH AL MUJADDADIYAH AL KHALIDIYAH Dari Syaikh ‘Uzairon At Thaifury Dari Syaikh Mahmud Khalid ‘Umar Dari Syaikh Umar Sofyan Dari Syaikh Ali Ridha Dari Syaikh Utsman Al Fauzy Dari Syaikh Sulaiman Az Zuhdy Dari Syaikh Ismail Al Barusy Dari Syaikh Sulaiman Al Quraimy Dari Syaikh Khalid Al Baghdady Dari Syaikh Abdullah Ad Dahlawy Dari Syaikh Habibullah Dari Syaikh Nur Muhammad Al Badwany Dari Syaikh Saifuddin Dari Syaikh Muhammad Ma’sum Dari Syaikh Ahmad Al Faruqy Dari Syaikh Muhammad Al Baqy Billah Dari Syaikh Muhammad Al Khawajiky Dari Syaikh Darwis Muhammad Dari Syaikh Muhammad Az Zahidy Dari Syaikh Ubaidillah Al Ahrar Dari Syaikh Ya’qub Al Jarhy Dari Syaikh Muhammad bin ‘Alaaiddin Al Athar Dari Syaikh Muhammad Bahauddin An Naqsabandy Dari Syaikh Amir Kullaly Dari Syaikh Muhammad Babas Samasy Dari Syaikh ‘Ali Ar Rumaitiny Dari Syaikh Al Anjir Faghnawy Dari Syaikh Arif Ar Riwikry Dari Syaikh Abdul Khaliq Al Ghazdawany Dari Syaikh Yusuf Al Hamadany Dari Syaikh Abi ‘Ali Al Fadhaly Dari Syaikh Abi Hasan Al Kharqany Dari SyaikhAbi Yazid Thaifur Al Busthamy Dari Syaikh Ja’far As Shadiq Dari Syaikh Qasim Bin Muhammad Dari Sayyidina Salman Al Farisy Dari Sayyidina Abu Bakar As Shidiq Dari Sayyidina Muhammad Rasulullah saw Jibril as Allah ‘Azza wa Jalla Syaikh Mahmud Khalid Umar dari Imam Ghazaly Kerten dari Syaikh Misri Mindi dari Syaikh Ali Ridha Syaikh Ali Ridha dalam sebagian kitab dari Syaikh Sulaiman Zuhdy tanpa ada wasilah. Mengenal Guru Thareqah Naqsyabandi Ditulis oleh Kyai Drs. Mufid Rowi Awal mula Thareqat Naqsyabandiah adalah ilmu rahasia Allah yang amat suci yang kemudian Allah menyuruh malaikat Jibril untuk memberikan ilmu rahasia yang sangat halus dan suci itu kepada satu-satunya hambanya yang sangat dikasihi dan sangat disucikan ruhaninya, hamba yang menjadi pilihannya, yang menjadi junjungan para nabi, rasul, para khalifah Allah Ta’ala, para waliyullah dan manusia seluruhnya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Ilmu rahasia ini selanjutnya oleh ulama sufi disebut dengan ilmu tasawuf atau ilmu thareqat. Dan nama-namanya mengikuti guru-guru yang mengembangkannya dari zaman Rasulullah sampai zaman sekarang ini. Tetapi agaknya dari zaman Baha’udin sampai saat ini, thareqat ini tidak banyak mengalami perubahan nama, yaitu Naqsyabandi. Yang ada setelah Baha’uddin hanya nama tambahan, seperti al Mujaddidi, al Kholidi, al Madhari, al Haqqani, dan al Amini. Bahkan ada yang menamai Thareqat Jabal Abu Qubais, sebagai tanda silsilahnya masih bersambung terus sampai Rasulullah. Thareqat Jabal Hindi, untuk nama Thareqat Naqsyabandi yang terputus silsilahnya, atau thareqat yang mursyidnya mengangkat sendiri, bukan diangkat oleh guru Thareqat Pada Zaman Rasulullah (571-632 M) Semasa Nabi masih hidup, belum dikenal bentuk perkumpulan yang didefinisikan dan dinamai Thareqat tetapi keberadaannya berbentuk sebuah kegiatan rutin, khusus, halus, dan tersembunyi berupa kegiatan dzikir-dzikir untuk Tazqiyatun Nafs dan Tazqiyatul Qolb, {pembersihan jiwa dan hati}, karena halusnya maka dinamai thareqatus Sirriyah. Kemudian dari padanya ilmu rahasia ini diwariskan kepada Abu Bakar as Shiddik. Thareqat Pada Zaman Khalifah-Khalifah 1. Abu Bakar as Shiddiq Pada masa kekhalifahan Abu Bakar as Shiddiq, kegiatan rutin dan halus itu dinamai Thareqatul Ubudiyah, karena wujud gambaran tingginya dan totalitas pengabdian Abu Bakar kepada Nabi Muhammad, dalam rangka mengabdi kepada Allah Swt. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 2. Salman al Farisi Kesempurnaan Sayyidina Abu Bakar as Siddiq dalam pengabdiannya dan perjuangannya melaksanakan seluruh perintah dan amalan Nabi Muhammad, termasuk kegiatan dzikir-dzikir secara terus-menerus. Dikembangkan dan diamalkan dzikir-dzikir khusus dan halus tersebut. Kemudian dinamai dengan Thareqatus Siddiqiyyah. Thareqat ini namanya populer sampai pada masa Abu Yazid al Bustami. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 3. Qasim ibn Muhammad ibn ‘Abi Bakar al Shiddiq. Qutubul Aulia’, Imam Thareqatus Siddiqiyah. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 4. Ja’far as Shidiq (w.148/765). Sayyidina Ja’far as Shiddiq ra cucu Sayyidina Qasim ra dari Ibundanya. Diangkat menjadi Imam Syiah ke-6 menggantikan ayahandanya Muhammad Baqir sebagai Imam Syiah ke-5, cucu Sayyidina Ali ra. selama proses belajar. Pengaruh Ibundanya paling merasuk pada ilmunya. Yang bernasabkan pada kakeknya Sayyidina Qasim, dan secara politis mengikuti jejak ayahandanya konsekuensi putra seorang Imam syiah. Khalifah-khalifah Ja’far ash Soddiq yang mengemban Thareqat ash Shiddiqiyah dan menjadi penyambung antara Imam Ja’far dan Abu Yazid al Busthami adalah Sayyidina Imam Musa al Qadim, Sayyidina Imam Ali Ridho dan Syaikh Ma’ruf al Kharhi. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan secara barzakhi kepada : 5. Abu Yazid Thaifur al Bisthami (w.260/874). Auliya’ Akbar, al Qutub. Karya-karyanya yang dieksplorasi dari pengalaman ruhaninya, merupakan salah satu dasar doktrin Wahdatul al Wujud, Wahdatul al syuhud, Ana al Haq dan Rabbani. Doktrin ini juga dianut oleh Abu Hafas al Naisabur, Abu Sa’id al Harraz, Junaid al Baghdadi, at Thusi, al Kalabasi, al Hallaj, Ibnu Arabi, Suhrawardi dan Maulana Rummi sedangkan Wahdatul al syuhud dianut oleh sufi al Makki, Muhasibi al Sulami, Hujwiri, al Qusyairi dan al Ghazali serta Abdul Qadir Jilani dan Ahmad Rifa’i. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan secara barzakhi kepada : 6. Abul Hasan al Kharaqani (w.425/1034). Inisiasi atau bai’at Abu Yazid kepada Abu Hasan dilakukan secara gaib atau melalui Nabi Hidir yang dikenal dengan istilah bai’at uwaisi. Status kemursyidannya diperoleh langsung dari Nasabut Thareqatut Thaifuriyah. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 7. Abu ‘Ali al Farmadzi (w.535/1084), Quthubul Auliya, ahli fiqih dan ahli haditas. Di Nesafur fatwa-fatwanya senantiasa menjadi rujukan-rujukan para juru da’wah (da’i). Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 8. ‘Abu Ya’kub Yusuf al Hamadani (w.535/1140) 8 Dasar Thareqat diperkenalkan sebagai bentuk doktrin penyempurnaan, (1) Husy dar dam, (2) nazhar bar qadam, (3) safar dar watan, (4) khalwat dar anjuman, (5) yadkard, (6) bazgasyt, (7) nigah dast, dan (8) yads dast Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada: 9. ‘Abd al Khalik al Ghujdawani (w.617/1220). Syaikh Abdul Khalik al Fajduani nasabnya sampai kepada al Imam Malik bin Anas RA. Abdul Khalik pernah diajari praktek pelaksanaan Nafi-Isbat di laut oleh Nabi Hidir. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 10. ‘Arif al Riwgari (w. 657/1259). Al Qutub dan ahli tafsir. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 11. Mahmud Anjir Faghnawi (w.643/1245 atau 670/1272). Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada: 12. ‘Azizan ‘Ali al Ramitani (w.705/1306 atau 721/1321). Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 13. Muhammad Baba al Sammasi (w.740/1340 atau 721/1321). Sufi besar penganut doktrin Wahdatul al Syuhud dan Wahdatul al Wujud. Ahli Fiqih dan Tafsir al Qur’an. Ilmu agama (Fiqih, Hadits serta Tafsir al Qur’an) Baha’uddin diperolehnya atas bimbingannya. Baba Samasi orang Cina yang bermukim di Sammas dekat Tasken perbatasan dengan Cina. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 14. Amir Sayyid Kulal al Bukhari (w.772/1371). Sufi besar, seorang ahli Fikih dan Ilmu Kalam, Wali al Qutub serta ahli tembikar terkenal yang produksinya tersebar ke Asia (Cina) dan Eropa. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 15. Muhammad Baha’ al Din Naqsyaband (717-791/1318-1389). Auliya Allah yang Qutub, Penasehat Utama Sultan Khalil di Samarqand, fatwa-fatwanya menjadi rujukan Hakim-Hakim Agung dalam memutuskan perkara. Karena kebesaran namanya, Thareqat yang di pimpinnya tersebar dengan cepat dan termasyhur serta memiliki pengikut yang sangat banyak dan tersebar ke seluruh dunia. Kemudian darinya diwariskan kepada : 16. Maulana Syaikh Muhammad al Bukhari al Khawarizumi QS. Penghulu di Bhukara’ tempat kelahiran seorang perawi hadits Bukhari Muslim. beliau adalah al Qutub. Pengajar Hadits di beberapa sekolah. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 17. Maulana Syaikh Ya’kub al Jarkhi al Hasyary QS. Wali Qutub dan ahli Tafsir al Qur’an. Bersama Kwaja Muhammad Parsa yang juga murid Baha’uddin Naqsyabandi telah membuat Tafsir Qur’an. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 18. Syaikh Nasiruddin Ubaidullah al Ahrary as Samarqandi Salah satu Wali Qutub yang amat kaya. Kekayaannya pernah menutup hutang-hutang kerajaan Samarqan, membantu kerajaan Mugol India keluar dari krisis keuangan. Setiap tahun berzakat 60.000 ton gandum. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 19. Maulana Syaikh Muhammad az Zahid QS. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 20. Maulana Syaikh Darwisy Muhammad as Samarqandi QS. Anak saudara perempuan Syaikh Muhammad az Zahid QS. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 21. Maulana Syaikh Muhammad al Khawajiki al Amkany as Samarqandi QS. Putra Syaikh Darwisi Muhammad as Samarqandi QS. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 22. Syaikh Muayyiduddin Muhammad al Baqibillah QS. Al Qutub. Asal Turki yang kemudian bermukim di India. Membangun Madrasah termegah dan terbesar di masanya. Kemudaian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 23. Syaikh Akhmad al Faruqi as Sirhindi QS. Murid kesayangan Baqibillah. Ketika al Faruqi mulai belajar kepadanya dan berbaiat, baqibillah telah berfatwa al Faruqi adalah orang yang akan menggantikan dirinya. Menjelang kematiannya, Baqibillah memohon untuk menunda ruhnya dicabut sampai menunjuk al Faruqi sebagai penggantinya, ketika al Faruqi sedang bepergian jauh. Ia seorang yang ahli Fiqih dan hafal al Qur’an. ia adalah Mujadid Millenium ke dua. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 24. Syaikh Muhammad Ma’sum QS. Beliau adalah putra Syaikh Akhmad al Faruqi as Sirhindi QS. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 25. Syaikh Muhammad Saifuddin QS. Beliau adalah putra Syaikh Syaikh Muhammad Ma’sum QS. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 26. Syaikh Syarif Nur Muhammad al Badwani QS. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 27. Syaikh Samsuddin Habibullah Jan Janany Muzhhir al ‘Alawi QS. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 28. Syaikh Abdullah ad Dahlawi QS. Nasab Syaikh Abdullah sampai pada Sayyidina Ali bin Abu Thalib. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 29. Maulana asy Syaik Dhiyauddin Khalid al Utsmani al Kurdi QS. Auliya Akbar, Sultanul Auliya’, al Qutub yang sangat termasyhur, khalifah-khalifahnya tersebar ke seluruh dunia. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 30. Syaikh Abdullah al Affandi QS. Kepala sekalian guru-guru dalam negeri Mekkah al Musyarrafah. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 31. Syaikh Sulaiman al Qarimi QS. Khalifahnya yang terkenal di Indonesia: KH. Ubaidah dan KH. Abdurrahman kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 32. Saidis Syaikh Sulaiman az Zuhdi QS. Menantu Syaikh Sulaiman al Qarimi QS. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada: 33. Saidis Syaikh Ali Ridha QS. Menantu Maulana Sayyidisy Syaikh Sulaiman az Zuhdi QS. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 34. Saidis Syaikh Muhammad Hasyim al Khalidi QS. Khalifahnya yang sangat menonjol adalah Prof. Dr. Kadirun Yahya. KH. As’ad Syamsul Arifin Situbondo pernah meminta talkin dzikir Naqsyabandi, ia dianjurkan untuk mengembangkan pesantren ayahandanya KH. Syamsul Arifin. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 35. Saidis Syaikh Kadirun Yahya Muhammad Amin al Khalidi QS (1917-2001). Kadirun Yahya dikenal sebagai thabib besar, wali qutub dan seorang akademisi serta ahli fisika-kimia yang bergelar profesor dan doktor. Di bawah bimbingannya Thareqat Naqsyabandiah. Mujaddiyah Khalidiah berkembang di perkotaan melalui kampus-kampus, yang sebelumnya sangat asing. Kemudian darinya ilmu rahasia ini diwariskan kepada : 36. Saidis Syaikh Der Moga Barita Raja Muhammad Syukur QS (1935- sekarang) Muhammad Syukur adalah Khalifah Prof DR. Kadirun Yahya yang sangat menonjol kekeramatannya, baik sebelum maupun setelah gurunya berlindung. Sekarang ia memimpin Thareqat Naqsyabandi al Mujaddidiah al Khalidi yang berpusat di Batam About these ads SILSILAH Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah Khalidiyah Tarekat ini Bermula dari Baginda Rasulullah Nabi Muhammad SAW dan selanjutnya diteruskan oleh Sahabat beliau dan terus sampai pertalian kebawahnya : 1 Sayyidina Abu Bakar Siddiq radiyallhu ta’ala anhu (r.a.). Gelar As – Siddik yang berarti benar dan membenarkan kebenaran, dan melaksanakan kebenaran itu dalam perkataan dan perbuatan, lahir maupun batin, beliau adalah khalifah pertama dari Khulafaur Rasyidin. Dari beliau turun kepada, 2 Sayyidina Salman A – Farisi r.a. Beliau adalah murid utama Sayyidina Abu Bakar dan terkenal sebagai tokoh sufi dan tokoh ilmu alam, ilmu falak yang kenamaan. Dari beliau turun kepada, 3 Al Imam Sayyidina Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar AS Siddiq r.a Dari beliau turun kepada, 4 Al Imam Sayyidina Ja’far As Shadiq r.a. Imam Ja’far adalah anak cucu Sayyidina Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Siddik r.a beliau terkenal sebagai ahli kesusasteraan dan ahli hukum dan karena keahliannya itu, serta kebenaran dan kesuciannya, menyebabkan dia sangat dihormati. Dari beliau turun kepada, 5 Al ‘Arif Billah Sultanul Arifin Asy Syekh Thaifur bin Isa bin Adam bin Sarusyan. Yang dimashurkan namanya dengan Asy Syekh Abud Yazid Al – Busthami quddusa sirruhu (q.s) Gelar Sultanul arifin bearti imam besar, orang yang mengetahui, imam tasawuf, pemimpin besar yang pertama dalam tarekat keturunan Sayyidina Abu Bakar Siddiq r.a. Dari beliau turun kepada, 6 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Abul Hasan Ali bin Abu Ja’far Al Kharqani q.s. Keistimewaannya dia sangat kasih kepada Allah dan Rasul-Nya, dan dari beliau turun kepada penghulu sekalian quthub. Dari beliau turun kepada, 7 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Abu Ali Al – Fadhal bin Muhammad Aththusi Al Farimadi q.s. Dari beliau turun kepada Wali Allah, 8 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Abu Yakub Yusuf Al – Hamadani bin Ayyub Bin Yusuf bin Al – Husain q.s. Nama lain beliau adalah Abu Ali As Samadani. Dari beliau turun kepada Wali Allah, yaitu, 9 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Abdul Khaliq Al-Fajduwani Ibnu Al Imam Abdul Jamil q.s. Beliau itu nasabnya sampai kepada Al Imam Malik bin Anas r.a. dari beliau turun kepada quthub penghulu sekalian Wali Allah yaitu , 10 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Ar Riwikari q.s. Dari beliau turun kepada hamba Allah, kepada daripada sekalian guru guru yaitu, 11 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Mahmud Al – Anjir Faqhnawi q.s. Beliau adalah aulia Allah yang mempunyai sifat dan perangai sempurna dalam menuntut ridla Allah dan sempurna abdinya kepada Allah azza wajallah, dari beliau turun kepada wali yang sangat kasih akan Tuhannya yang ghani, yaitu, 12 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Al Ar Ramitani Yang dimashyurkan namanya dengan Asy Syekh Azizan q.s. Dari beliau turun murid murid yang sangat tinggi ilmu tarikat dan makrifatnya. Dari beliau turun kepada penghulu sekalian Wali Allah, yaitu, 13 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Muhammad Baba As Samasi q.s. Beliau adalah seorang aulia Allah dari keturunan Tionghoa, Beliau senantiasa mujahadah dan musyahadah kepada Tuhan dan beliau adalah penghulu sekalian wali wali Allah, Syekh Muhammad Baba As Samasi q.s hidup dalam satu zaman dengan Asy Syekh Ali Ar Ramitani dan dengaN Syekh Abdul Qadir Jaelani q.s dari beliau turun kepada raja yang besar lagi sayyid, kepada sekalian guru guru yaitu, 14 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Sayyid Amir Kulal bin Sayyid Hamzah q.s. Syekh Sayyid Amir Kulal adalah raja di tanah Arab yang besar dan dia bergelar sayyid mempunyai keturunan bangsawan, dan beliau adalah guru hakikat dan makrifat, dari beliau turun kepada wali Allah yang mashyur keramatnya dan makmur, ialah imam Tarekat Naqsyabandinyah yang terkenal namanya dengan Syah Naqsyabandy, yaitu, 15 Al’Arif Billah Asy Syekh As Sayyid Bahauddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Asy Syarif Al Husaini Al Hasani Al Uwaisi Al Bukhari q.s. Beliau meletakkan dasar dasar zikir qalbi yang sirri, zikir batin qalbi yang tidak berbunyi dan tidak bergerak, dan beliau meletakkan kemurnian ibadat semata – mata lillahi ta’ala, tergambar dalam doa beliau yang diajarkan kepada murid-muridnya “Ilahii anta makshuudi waridlaaka mathluubi” . Secara murni terus menerus ibadat Thariqatus Sirriyah zaman Rasulullah, Thariqatul Ubudiyah zaman Abu Bakar Siddiq dan Thariqatus Siddiqiyah zaman Salman Al Farisi, Beliau amat mashyur dengan keramat – keramatnya dan makmur dengan kekayaannya, lagi terkenal sebagai wali akbar dan wali quthub yang afdlal, yang amat tinggi hakikat dan makrifatnya. Dari murid- murid dahulu sampai dengan sekarang, banyak melahirkan wali wali besar di timur maupun di barat, sehingga ajarannya meluas keseluruh pelosok dunia, Beliau pulalah yang mengatur pelaksanaan Iktikaf atau suluk dari 40 (empat puluh) hari menjadi 10 (sepuluh) hari, yang dilaksanakan secara efisien dan efektif, dengan disiplin dan adab suluk yang teguh. Dari beliau turun kepada, 16 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Muhammad Al – Bukhari Al Khawarizumi. Yang dimashyurkan dengan namanya Asy Syekh Alaudin Al – Aththar q.s. dari beliau turun kepada waliullah yaitu, 17 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Yacub Al – Jarkhi q.s. Dari beliau turun kepada Wali yang Agung, yaitu , 18 Al ‘Arif Billah Syekh Nashiruddin Ubaidullah Al – Ahrar As Samarqandi bin Mahmud bin Sihabuddin q.s. Dari beliau turun kepada raja yang saleh, ialah kepala sekalian guru-guru, yaitu, 19 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Muhammad Az Zahid q.s. Dari beliau turun kepada anak saudara perempuannya yang mempunyai kerajaan yang besar dan martabat yang tinggi, yaitu , 20 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Darwis Muhammad Samarqandi q.s. Dari beliau turun kepada anaknya ialah seorang raja yang besar yang adil lagi pemurah, lagi lemah lembut perkataannya yaitu, 21 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Muhammad Al – Khawajaki Al – Amkani As Samarqandi q.s. Dari beliau turun kepada wali Allah yang Quthub yaitu, 22 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Muayyiddin Muhammad Al – Baqi Billah qs Dari beliau turun kepada anak cucuk amirul mukminin Sayyidina Uma Al Faruq r.a. yaitu, 23 Al ‘ Arif Billah Asy Syekh Akhmad Al Faruqi As Sirhindi q.s. Yang termashyur namanya, yang terkenal dengan Al Imam Ar Rabbani Al Mujaddid Alf Fassami. Dari beliau turun kepada anaknya yang tempat kepecayaannya, yang menaruh rahasianya, yang mashyur namanya yaitu, 24 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Muhammad Ma’sum q.s. Dari beliau turun kepada anaknya, yaitu Sultanul Aulia yaitu, 25 Al ‘ Arif Billah Asy Syekh Muhammad Saifuddin q.s Yang bercahaya zahiriah dan batiniahnya, dari beliau turun kepada sayyid syarif yang gilang gemilang cahanyanya, sebab nyata zat dan sifat, yaitu 26 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Asy Syarif Nur Muhammad Al – Badwani q.s. Yang bercahaya zahiriah dan batiniahnya, dari beliau turun kepada sayyid syarif yang gilang gemilang cahayanya, sebab nyata zat dan sifat, yaitu , 27 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Asy Syamsuddin Habibullah Jani Janani Muhzir Al – Alawi q.s. Dari beliau turun kepada kepala sekalian guru guru kepala sekaliah khalifah dan penghulu sekalian wali Allah yaitu, 28 Al ‘Arif Billah Asy Syekh Abdullah Ad Dahlawi q.s. Dan adalah Syekh Abdullah itu nasabnya sampai kepada Amirul Mukminin Sayyidina Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhahu. Dari beliau turun kepada , 29 Al ‘Arif Billah Maulana Asy Syekh Dhiyauddin Khalid Al-Utsmani Al-Kurdi q.s. Beliau adalah anak cucu amirul mukminin Sayyidina Usman bin Affan r.a., Beliau adalah Syekh Termashyur, ahli tarekat Naqsyabandiyah yang fana fillah, lagi baqa billah, yang pada masa suluk menjadi penghulu sekalian khalifah. Dari beliau turun kepada wali Allah yang zuhud akan dunia dan sangat kasih akan zat Allah ta’ala, ialah sekalian guru-guru di dalam negeri Makkah al Musyarrafah, yaitu hamba Allah. 30 Al ‘ Arif Billah Sirajut Millah Waddin Asy Syekh Abdullah Al Afandi q.s. Dari beliau turun kepada penghulu sekalian khalifah yang mempunyai keramat yang nyata yaitu, 31 Al’Arif Billah Asy Syekh Sulaiman Al Qarimi q.s Dari beliau turun kepada menantunya yang alim lagi saleh, yang senantiasa tafakkur dan muraqabah, baqa billah siang dan malam kepada Tuhan Kaliqul ‘alam, dan dari beliau nyata kebesarannya serta kemuliaannya, dan adalah penghulu sekalian khalifah dan ikutan sekalian orang yang suluk, yaitu , 32 Mursyiduna, warabiituna, wa maulana, Al ‘Arif Billah Sayyidi Syekh Sulaiman Az Zuhdi q.s Dari beliau turun kepada anaknya yang alim lagi saleh, yang senantiasa tafakkur dan muraqabah, baqa billah siang dan malam dan ikutan sekalian orang yang suluk , yaitu, 33 Mursyiduna, warabiituna, wa maulana, Al ‘Arif Billah Sayyidina Syekh Ali Ridla q.s. Ketika perang dunia ke II di Eropa disekitar tahun 1937 Ali Ridla q.s. meninggalkan Mekkah menuju Baghdad dan kemudian ke India dan disana beliau meninggal dunia. Ali Ridla q.s. adalah ahli tasawuf dan Syekh Tarekat Naqsyabandiyah yang sangat pintar dan alim, seorang sufi yang mashyur. Kasih sayangnya penuh ditumpahkan kepada muridnya yang kemudian menjadi khalifah Rasul yang ke 34 seorang berkebangsaan Indonesia, Dari beliau turun kepada muridnya yang menambahi Allah ta’ala akan sucinya, dan meninggikan Allah ta’ala akan derajatnya, dan kuat melalui jalan kepada Allah ta’ala, maka melapangkan dan melebihi Allah ta’ala baginya, karena menambahi salam berkhidmat akan Allah ta’ala, dan memberi bekas barang siapa menuntut jalan kepada Allah ta’ala kepadanya, Kemudian meninggikan Allah ta’ala atas orang hidup yang akan menambahi yakin zikir yang batin dan mengesakan yang dikenal bagi yang kaya dan miskin dan menjadikan Allah ta’ala bagi orang yang suluk dengan Tarikatul Ubudiyah dan Naqsyabandiyah, amanat suci Allah ta’ala dan menyembunyikan dia sebagai walinya yang pilihan, yaitu, 34 Mursyiduna, warabiituna, wa maulana, Al ‘Arif Billah Sayyidi Syekh Muhammad Hasyim Al Khalidi q.s. Guru pertama beliau adalah Saidi Syekh Sulaiman Hutapungkut di kota Nopan, Tapanuli Selatan. Sebagai kelanjutan dari pendidikannya, Syekh Muhammad Hasyim berguru dan menerima Ijazah Syekh Ali Ar Ridla q.s. di Jabal Qubis Mekkah, Setelah kembali ke Indonesia, Beliau menetap di Buayan, Sumatera Barat. Selama di Jabal Qubis Mekkah dengan tekun menuntut dan mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah, mendalami syariat dan hakikat serta memperoleh makrifat. Pada Kesempatan itu pula beliau berpuluh puluh kali berziarah ke makam Rasulullah SAW dan melaksanakan ibadat Haji. Sebagai seorang perintis kemerdekaan, beliau juga pernah dibuang di Boven Digul dan menjadi penasehat beberapa pembesar Indonesia dalam perang kemerdekaan, Beliau meninggal dalam usia lanjut, yaitu 90 tahun, beliau lahir pada tahun 1864 dan meninggal tahun 1954. Dari beliau turun kepada muridnya yang pilihan yang sangat kasih akan gurunya, akan Allah SWT dan Rasul-Nya, yang kuat menjalani jalan hakikat dan kuat mengerjakan jalan berkhidmat, yang dikenal oleh orang banyak sebagai seorang tabib besar, yang mengobati orang banyak, dari penyakit batin dan zahir dengan kekuatan zikrullah, dan menjadi ikutan dari segala orang yang terpelajar yang suluk, yang bertarikat dengan Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah Khalidiyah 35) Mursyiduna, wa rabiituna, wa maulana, Al ‘Arif Billah Sayyidi Syekh Kadirun Yahya Muhammad Amin Al Khalidi q.s. Yang termashyur namanya, yang terkenal dengan nama Prof.Dr.H.S.S.Kadirun Yahya Rasulullah SAW bersabda : كن مع الله فإن لم تكن مع الله كن مع من مع الله فإنه يصيلك الى الله "Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah, jika kamu belum bisa menjadikan dirimu beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan engkau (rohanimu) kepada Allah" (H.R. Abu Daud). WASILAH dan RABITAH Pengertian Wasilah Sebagaimana halnya masalah mursyid, masalah wasilah dan rabitah dalam suatu tarekat pada waktu melaksanakan zikir dan ibadah menempati posisi penting dan menentukan. Seluruh sufi yang bertarekat pasti bermursyid, berwasilah dan merabitahkan rohaniahnya dalam beramal dan beribadah : Artinya :Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan (sukses). (QS.Al Maidah :35). Dalam Kamus al Munjid dikatakan : اَلْوَسِيْلَةُ مَا يَتَقَرَّبُ إلىَ الْغَيْرِ “Wasilah adalah sesuatu yang mendekatkan kepada yang lain.” Ibnu Abbas menegaskan : اَلْوَسِيْلَةُ هِيَ الْقَرَابَةُ “Wasilah adalah suatu pendekatan “ Dalam Tafsir Ibnu Katsir II :52-53 pada waktu menafsirkan QS Al Maidah :35 , menyatakan : اَلْوَسِيْلَة هِيَ الَّتِى يُتَوَصَّلُ بِهَا إلَى تَحْصِيْلِ الْمَقْصُوْدِ “Wasilah itu ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud” Syekh Sulaiman Zuhdi pada waktu menafsirkan QS.Al Maidah:35 menyatakan : اَلْوَسِيْلَةُ عَامٌُ لِكُلِّ مَا يَتَوَصَلُ بِهِ إلَ الْمَقْصُوْدِ وَالنَّبِيُّ صلعم اَقْرَبُ الْوَسَا ئِلِ إلىَ اللهِ تَعَالىَ ثُمَّ تَوَائِبُهُ صلعم مِنَ الْمُسْتَكْمِلِيْنَ الْوَاصِلِيْنَ إلىَ اللهِ تَعَالىَ فِيْ كُلِّ قَرْنٍِ “Pengertian umum dari wasilah adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kita kepada suatu maksud atau tujuan. Nabi Muhammad SAW adalah wasilah yang paling dekat untuk sampai kepada Allah SWT, kemudian kepada penerusnya-penerusnya yang Kamil Mukammil yang telah sampai kepada Allah SWT yang ada pada tiap-tiap abad atau tiap-tiap masa” Dalam ilmu balaghah dikenal istilah “Majaz Mursal : مِنْ إطْلاَقِ الْمَحَلِّ وَإرَادَةِ الْحَال artinya menyebut wadah, sedangkan sebenarnya yang dimaksud adalah isinya. Disebutkan pula Nabi Muhammad sebagai wasilah, tetapi yang dimaksud sebenarnya adalah Nuurun ala nuurin yang ada pada rohani Rasulullah SAW. Prof.DR.H.S.S Kadirun Yahya menyatakan bahwa wasilah itu adalah suatu channel, saluran atau frekuensi yang tak terhingga yang langsung membawa kita kehaderat Allah SWT. Wasilah itu ialah : نُوْرٌُ عَلىَ نُوْرٍِ يَهْدِاللهُ لِنُوْرِهِ مَنْ يَشَآءُ “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki “(QS An-Nur :35). Wasilah itu telah ditanamkan ke dalam diri rohani Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW yang merupakan sentral penghubung antara Rasulullah SAW dan ummatnya menuju kehaderat Allah SWT. Para Sahabat dan ummat Rasulllah SAW harus mendapatkan wasilah ini di samping menerima Alquran dan As-Sunah Posted on 27 Agustus 2007 | 124 Komentar KH.HASYIM ASY’ARI (TEBUIRENG JOMBANG) KH.IDRIS KAMALI (TEBUIRENG JOMBANG) kh.bisri syansuri dan Kh Abdul wahab chasbulloh(jawa timur) Kh.Adlan aly ( Jombang Jawa timur) kh.Ali maksum KH.MUHAMMAD THOWIL ( PON-PES ASSALAMIYAH BANTEN) KH.ABDULLAH ABBAS (BUNTET CIREBON) KH.ISHOMUDDIN HADZIK(PON-PES TEBUIRENG) KH.ABDULLAH SYAFEI(JAKARTA) KH.CHOLIL BISRI (REMBANG JAWA TENGAH) KH.MAMOEN ZUBAIR (TENGAH) KH.FUAD HASYIM TRIO KYAI BUNTET CIREBON KH.Munasir KH.USMAN ABIDIN (JAKARTA) HABIB LUTHFI BIN YAHYA (KETUA THAREKAT NAQSABANDIYYAH) DAN KH.USMAN ABIDIN SYECH MUHAMMAD ABDUL MALIK BIN ILYAS ( KEBUMEN JATENG) KH.ABDUL HAMID (PASURUAN) KH. ASNAWI (CARINGIN BANTEN) KH.SAID BIN KH ARMIA (TEGAL) KH.AHMAD SIDDIQ Syech Yusuf Al makassary ( makasar sulawesi) Syech Nawawi Al Bantani( tanara banten) KH.MUHAMMAD NAWAWI AL BANTANI (TANARA BANTEN) KH.NOER ALI ( UJUNG HARAPAN BEKASI) KH.ACHMAD DJAZULI USMAN (KEDIRI JAWA TIMUR) KH.HAMIM DJAZULI ( GUS MIEK KEDIRI) KH.MAKSUM DJAUHARI (LIRBOYO JAWA TIMUR) KH.SYAFI’I HADZAMI ( JAKARTA) KH.ILYAS RUCHIYAT ( JAWA BARAT) KH.YUSUF HASYIM (TEBUIRENG JOMBANG) KH.ABDUL ROSYID SYAFI’I ( PIMPINAN ASSYAFI’IYAH JAKARTA) KH.MUSLIM RIFA’I IMAMPURO( PON-PES ALMUTTAQIEN KLATEN) KH.SONHAJI ( KEBUMEN JAWA TENGAH) KH.ABDULLAH FAQIH (KIRI) { TUBAN JAWA TIMUR} KH.HASYIM MUZADI DAN DR YUSUF QORDOWI KH.DIMYATI ROIS (KENDAL JAWA TENGAH) KH.PROF.ANWAR MUSADDAD ( GARUT JAWA BARAT) KH.YAHYA (BANDUNG) TUAN GURU HAJI TURMUDJI BADRUDIN (LOMBOK NTB) KH.MUKHTAR SYAFAAT (BANYUWANGI) Syeck arsyad al banjari KH MUHAMMAD DIMYATI (CIDAHU BANTEN) KH.MUHAMMAD KHOLIL ( MADURA) ULAMA ULAMA NU Syech Yasin Al Padani dan para Ulama Syech Yasin Al Padani ( padang ) Kh.Mubarok bin Nuh ( Suryalayah Jawa barat) KH.A Shohibul Wafa ( abah Anom suryalaya jawa barat) KH .ABDULLOH BIN NUH ( BOGOR) KH. M ARAWANI ( JAWA TENGAH) SYECK SULAIMAN ARRASULI ( MINANGKABAU) SYECH AHMAD KHATIB SAMBAS (KALIMANTAN) Kh Muhammad Zainuddin Abdul Majid ( Lombok KH.RADEN MUHAMMAD AMIN ( KALI BATA JAKARTA) KH.BUSTHOMI ( BANTEN) KH. SANJA ( ULAMA AHLI NAHWU SHOROF BANTEN) KH.MAMA OBAY ( KARAWANG JAWA BARAT) KH.ARSYUDIN ( TENJO BOGOR) SYECH TUBAGUS AHMAD BAKRI ( PURWAKARTA ) KH.MUHAMMAD DIMYATI ( CIDAHU BANTEN) KH.HAMIM DZAJULI/GUS MIK ( KEDIRI JAWA TIMUR) Kh.maksum/Gus maksum ( jawa timur) Kh.Muhiddin ( cirebon) Syech Muhammad abdul malik ( Kebumen) Serial Tarekat I Sejarah Perkembangan Thariqah Di Indonesia Berdakwah Dan Berjuang Melalui Dzikir Dengan semangat dzikir kaum thariqah berjuang mengislamkan nusantara dan mempertahankannya dari upaya penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Dan kini, melalui Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah kaum tarekat Indonesia berhimpun untuk memajukan bangsa. Dalam hal nasionalisme dan pengabdian terhadap tanah air, kaum thariqah memang bisa diacungi jempol. Betapa tidak. Perjalananan panjang sejarah kebangsaan negeri ini telah mencatat dengan tinta emas kiprah kaum thariqah. Tak hanya sibuk mendidik umat dengan dzikir dan keluhuran akhlak, mereka juga berada di barisan terdepan pejuang yang berjibaku mempertahankan tanah air tercinta dari upaya penjajahan bangsa asing. Tak hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia kaum thariqah juga diakui sebagai kelompok yang paling mampu membawa dan menyebarkan nilai-nilai sejati Islam yang tercermin dalam idiom rahmatan lil ‘alamin. Tak mengherankan jika kemudian thariqah atau tarekat berkembang pesat dan menjadi salah satu khazanah umat Islam yang mendunia. Tengok saja fenomena Thariqah Naqshabandiyyah Haqqaniyyah di Amerika Serikat yang dibawa oleh Syaikh Muhammad Hisham Kabbani Al-Hasani asal Cyprus dan Thariqah Syadziliyyah di Eropa yang perkenalkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Ya’qubi Al-Hasani asal Damaskus, Suriah. Meski perlahan, pertumbuhan kedua tarekat itu sangat signifikan di berbagai negeri-negeri barat, seiring pertumbuhan jumlah umat Islam di negeri-negeri yang sejak lama telah kehilangan rasa dengan agama nenek moyangnya. Di Indonesia sendiri aktivitas thariqah telah dikenal sejak awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Berbagai riset dan penelitian kesejarahan yang di lakukan oleh para sejarawan, baik lokal maupun mancanegara, membuktikan, para para penganut thariqahlah yang telah membawa agama tauhid ini masuk ke nusantara. Menilik sejarahnya yang panjang, tak mengherankan jika saat ini Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah mengklaim bahwa jumlah pengikut thariqah saat ini berkisar antara 35 -40 jutaan orang. Rentang waktu yang telah dilalui kaum thariqah yang membentang melintasi puluhan generasi tentu merupakan obyek yang menarik untuk dikaji. Sebab dipastikan, kaum thariqah pasti terlibat dan mempunyai andil besar dalam dinamika pertumbuhan Islam di Nusantara. Berikut sekelumit kisah masuk dan berkembangnya thariqah ke Indonesia, berikut keterlibatannya dalam jatuh bangunnya bangsa ini. Serat Banten Islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada awal abad 14, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf yang moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. Tasawuf falsafi adalah ajaran tasawuf yang mencampur adukan antara konsep tauhid, akhlaq dengan filsafat Yunani. Di antara doktrin kontroversialnya adalah hulul dan ittihad, yakni penyatuan ragawi antara Allah dan makhluk yang juga dikenal sebagai paham wahdatul wujud. Karena bertentangan dengan doktrin umum syariat, pertumbuhan tasawuf falsafi sangat berdarah-darah. Aksi-aksi kontroversial para sufi falsafi kontan menyulut kemarahan jumhur ulama dan penguasa masa itu. Beberapa tokohnya, seperti Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami, kemudian dibawa ke meja hijau dan dihukum mati. Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah. Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air. Para sejarawan barat meyakini, sebagaimana dikuti Martin Van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah. Untuk menguatkan cerita tersebut, Serat Banten Rante-rante juga mencantumkan 27 tokoh ulama yang pada masa yang sama juga belajar kepada Syaikh Najmuddin Kubra, dan belakangan menjadi tokoh penyebar Thariqah Kubrawiyyah ke seluruh dunia. Mereka antara lain Syaikh Jamaluddin Muhammad Al-Khalwati, Qadhi Zakariyya Al-Anshari dan Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani. Terlepas dari kebenaran fakta cerita dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah ke tanah Jawa. Faham Wahdatul Wujud Thariqah lain yang masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul. Thariqah yang pertama kali masuk adalah Qadiriyyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri, sastrawan sufi kontroversial dari Aceh. Meski meninggalkan banyak karya tulis, namun sang sufi yang sempat berkelana ke negeri-negeri di Asia Selatan dan Tenggara itu diyakini tidak menyebarkan thariqahnya kepada khalayak umat Islam. Jejaknya hanya diikuti oleh murid utamanya, Syamsudin As-Sumatrani, yang belakangan justru menyebarkan Thariqah Syaththariyyah. Ijazah kemursidan Syaththariyyahnya diperoleh dari sufi asal Gujarat, Syaikh Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri. Meski berbeda thariqah, guru dan murid itu mempunyai kesamaan kecenderungan, yakni mengajarkan paham wahdatul wujud. Ajaran itulah yang kemudian memicu konflik tajam dengan sufi lain yang menjadi mufti kerajaan Aceh, yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Usaha kelompok Ar-Raniri dalam memerangi ajaran panteisme ala Syamsudin itu tak main-main. Selain pembakaran kitab pegangan dan zawiyyah-zawiyyahnya, Ar-Raniri juga berhasil meyakinkan pemerintah untuk menghukum bakar Syamsudin beserta para pengikutnya. Sepeninggal Ar-Raniri, jejaknya diteruskan oleh Syaikh Abdul Rauf As-Singkili asal Singkel, Aceh. Ulama muda yang pernah belajar di Tanah Suci selama sembilan belas tahun itu membawa Thariqah Syaththariyyah yang lebih bercorak akhlaqi. Ijazah kemursyidan Syaikh Abdul Rauf Singkel diperoleh dari dua sufi besar Madinah, Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi (wafat 1660M) dan Syaikh Ibrahim Al-Kurani (wafat 1691). Setelah mendengar konflik antara pengikut Syaththariyyah ala Syamsudin yang kontroversial dan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf diutus gurunya untuk kembali ke Aceh guna menyebarkan thariqah Syaththariyyah yang benar. Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka oleh kerajaan. Bahkan ia lalu diangkat menjadi salah satu mufti kerajaan. Tokoh lain yang hidup semasa dengan Syaikh Abdul Rauf Singkel dan pernah juga berguru kepada Syaikh Ibrahim Al-Kurani serta ulama sufi lainnya di Timur Tengah adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi Selatan. Setelah mengembara hingga ke Damaskus, Syaikh Yusuf pulang ke Nusantara dengan mengantongi ijazah kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Syaththariyyah, Ba’alawiyyah dan Khalwatiyyah. Di Makassar, Syaikh Yusuf lalu mengajarkan Thariqah Khalwatiyyah yang dipadu dengan beberapa ritual thariqah lain yang dikuasainya, dan dikenal kemudian dengan nama Khalwatiyyah Yusufiyyah. Pengikut thariqah ini juga dikenal sangat militan. Beberapa kali mereka terlibat bentrokan dengan penjajah dan ditangkapi. Syaikh Yusuf sendiri kemudian hijrah ke kesultanan Banten, ikut membantu perjuangan rakyat Banten sambil terus mengajarkan thariqah Khalwatiyyahnya. Karena simpati dengan ketulusan perjuangan Syaikh Yusuf, ulama itu kemudian diangkat menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Sepeninggal Sultan Ageng yang gugur di penjara kompeni Belanda, Syaikh Yusuf meneruskan perjuangan sang mertua. Ia membangun basis pertahanan di sekitar Tangerang. Membela Penjajah Namun sayang, karena Sultan Haji, raja Banten berikutnya lebih cenderung membela kepentingan penjajah, perjuangan Syaikh Yusuf pun semakin melemah hingga akhirnya tertangkap pada tahun 1683. Setelah dipindah-pindahkan dari penjara Cirebon ke Batavia, akhirnya pada tanggal 12 September 1684 ia dibuang ke Ceylon, Afrika Selatan. Di negeri itu ia menghabiskan sisa usia dengan berdakwah, mengajar dan menulis kitab. Hingga kini masyarakat Ceylon masih menganggap sang Syaikh sebagai wali dan pahlawan kebanggan mereka. Abad enam belas dan tujuh belas memang merupakan masa-masa penting dalam penyebaran thariqah di nusantara. Pada abad-abad tersebut, mulai banyak santri dari Nusantara yang lazim dikenal dengan orang Jawah atau Jawi yang menetap di Tanah Suci untuk belajar ilmu agama. Bahkan saat itu, jumlah jamaah haji dari Nusantara termasuk yang terbesar dibanding dari dari negeri-negeri muslim lain. Para santri Jawah itu hidup dalam satu komunitas tersendiri yang terpisah dari santri-santri negeri lain. Karena kemampuan berbahasa Arab mereka yang rata-rata pas-pasan, santri-santri junior lebih banyak belajar kepada para santri senior asal Jawah juga. Setelah cukup matang barulah mereka mulai belajar kepada ulama besar setempat. Kemudian, sebagaimana yang dilakukan para pendahulu mereka, setelah usai mengaji ilmu syariat, para santri Jawah itu lalu berguru ilmu tasawuf kepada ulama sufi terkenal di kota itu. Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Baginda Nabi Muhammad SAW. Ulama yang produktif menulis itu mengajarkan perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah. Karena kehebatan karamahnya, thariqah itu sangat diminati para santri Jawah dan segera saja tersebar luas di nusantara. Salah satu murid utama Syaikh Samman asal nusantara adalah Syaikh Abdul Shomad Al-Falimbani, ulama pejuang asal Palembang, Sumatera Selatan yang mengarang beberapa kitab terkenal berbahasa Melayu. Berkat Syaikh Abdul Shomad pula thariqah itu diterima dengan tangan terbuka dan berkembang pesat di Kesultanan Palembang. Bahkan, beberapa waktu setelah sang syaikh wafat, Sultan Palembang membangun sebuah zawiyyah Thariqah Sammaniyyah di kota pelabuhan Saudi Arabia, Jeddah. Karena besarnya kecintaan para Sultan Palembang kepada Syaikh Samman dan thariqahnya, tak heran hingga saat ini Thariqah Sammaniyyah terus berkembang pesat di Sumatera Selatan, bahkan sampai pulau-pulau lain. Di beberapa daerah di pesisir utara Jawa, misalnya, hingga ssat ini syair tawassul kepada Syaikh Samman masih sering dikumandangkan setiap usai shalat tarawih dan witir di bulan Ramadhan. Thariqah ini juga menjadi alat pemersatu rakyat, ulama dan umara Palembang dalam pertempuran penjajah pada tahun 1819. Dalam sebuah karya sastra setempat dikisahkan, sekelompok pengikut thariqah yang mengenakan pakaian serba putih dan menyandang senjata tampak berzikir dengan keras hingga mencapai fana atau ekstase. Kemudian tanpa rasa gentar mereka menyerbu dan mengobrak-abrik barisan tentara Belanda. Syaikh Abdul Shamad Al-Falimbani sendiri di masa tuanya hijrah ke Pattani, untuk berdakwah dan membantu umat Islam setempat yang tengah berjuang melawan penjajah eropa yang datang silih berganti.Seiring kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal. Bermodal Kesaktian Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya. Pada mulanya ilmu kebal debus diberikan para guru thariqah untuk menambah semangat juang murid-muridnya dalam menghadapi penjajah. Tak heran pertempuran demi pertempuran meletus di berbagai daerah yang digelorakan oleh ulama dan pengikut tarekat. Selain di Pelambang, pertempuran lain melawan penjajah yang dilakukan para pengikut thariqah juga tercatat pernah meletus di Kalimantan Selatan (tahun 1860an), Jawa Barat (1888) dan Lombok (1891). Dua pertempuran yang disebut terakhir itu digerakkan oleh ulama dan pengikut Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah). Sepeninggal Syaikh Ahmad Khatib Sambas, kepemimpinan tertinggi Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah di Makkah dipegang oleh Syaikh Abdul Karim Banten. Kharisma kuat yang memancar dari diri Syaikh Abdul Karim membuat thariqah ini segera tersebar luas di nusantara, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah bagian utara dan Jawa Timur. Setelah Syaikh Abdul Karim wafat, kepemimpinan TQN tidak lagi terpusat. Thariqah itu berkembang pesat di berbagai daerah di bawah kepemimpinan para khalifah generasi seudahnya. Pada paruh kedua abad dua puluh, terdapat setidaknya empat pusat TQN yang penting di Pulau Jawa : Rejoso (Jombang – Jawa Timur) yang dipimpin oleh Kiai Musta’in Romly, Mranggen (Demak –Jawa tengah) dipimpin Kiai Muslikh, Suryalaya (Tasikmalaya – Jawa Barat) dipimpin oleh Abah Anom, dan Pagentongan (Bogor – Jawa Barat) dipimpin oleh Kiai Tohir Falak. Keempat tokoh besar TQN itu kini telah wafat. Namun hanya tinggal Suryalaya pula yang sepeninggal pengasuhnya, kepemimpinan thariqahnya masih efektif hingga saat ini. Sementara ketiga pusat pengajaran lainnya tidak berhasil melakukan regenerasi. Di Jawa Timur, misalnya, Kiai Mustain Romly yang terjun ke politik praktis mulai ditinggalkan pengikutnya. Ketokohannya kemudian digantikan oleh Kiai Adlan Aly dari Tebuireng. Sepeninggal Kiai Adlan Aly, ketokohan TQN di Jawa Timur dipegang Kiai Utsman Al-Ishaqi Surabaya dan dilanjutkan oleh putranya yang legendaris, K.H. Asrori A-Ishaqi. Sementara di Jawa Tengah, sepeninggal Kiai Muslikh yang kharismatik, kiprah kethariqahan Mranggen berangsur-angsur surut. Hal yang sama juga terjadi di Pesantren Pagentongan, Bogor, yang sempat berjaya pada masa kepengasuhan Abah Falak. Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, masih banyak lagi thariqah besar yang masuk ke nusantara pada pertengahan abad 19. Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah (TNK), hasil pembaruan thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maula Khalid Al-Baghdadi.Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin VB dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula Khalid) itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air. Perang Paderi Di Minang, para pengikut Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang dipimpin Syaikh Jalaluddin Cangking sempat terlibat bentrokan dengan pengikut tarekat Syattariyah yang berpusat di Ulakan. Para penganut Naqsyabandiyyah yang menganggap diri mereka pembaharu mengecam kaum konservatif di Ulakan, yang ajaran thariqahnya dianggap sudah tercemari sinkretisme. Belakangan, para tokoh Naqsyabandiyyah di Cangking terlibat peperangan melawan penjajah Belanda dalam perang Paderi, yang dipimpin Imam Bonjol. Cerita seputar hubungan antara Perang Paderi dengan thariqah Naqsyabandiyyah belakangan kembali dipertanyakan, terutama oleh sejarawan Minang dan Tapanuli. Pemicuya adalah beberapa buku sejarah yang menyatakan Imam Bonjol dan pasukannya adalah penganut paham Wahhabi yang bermaksud menggusur kaum muslim tradisionalis di kawasan itu. Wallahu a’lam bish shawwab. Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).Khalifah pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto, lalu oleh Habib Luthfi Bin Yahya, Pekalongan. Sementara kekhalifahan Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan Klaten, lalu oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi dan muridnya Kiai Arwani Amin Kudus. Selain mewariskan Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga mewariskan ijazah kemursyidan beberapa thariqah kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya adalah Thariqah Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat yang berasal dari Afrika Utara tersebut. Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, Magelang, K.H. Ahmad Ngadirejo (Klaten/Solo?) dan K.H. Idris Jamsaren, Solo. Ketiganya memliki mata rantai yg sama: Kyai Ahmad, Mbah Malik dan Mbah Dalhar mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al-Makki dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Mufti Mazdhab Hanafi. Sementara Kiai Idris Jamsaren yang satu generasi lebih tua mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih Mufti Al-Hanafi. Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya K.H. Ahmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar (Salatiga). Sayang ketiga pewaris kemursyidan Mbah Dalhar itu kini telah wafat. Sementara dari Mbah Idris Jamsaren, ijazah kemursyidan itu diturunkan kepada K.H.R. Abdul Mu'id Tempursari, Klaten, kemudian diteruskan oleh putranya K.H.R. Ma'ruf Mangunwiyoto yg bermukim di kampung Jenengan, Solo. Mbah Ma'ruf sendiri tidak menurunkan kemursyidannya kepada siapa pun. Selain kepada putranya, Kyai Ma'ruf, Kyai Abdul Mu'id Tempursari juga memberi ijazah bai'at kepada K.H. Soeratmo bin K.H. Amir Hasan, yg akrab disapa Mbah Kyai Idris Kacangan. Selain mendapat ijazah dari Tempursari, Mbah Idris Kacangan juga mendapatkan ijazah kemursyidannya dari K.H. Abdul Razaq Tremas Pacitan, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari K.H. Ahmad Ngadirejo.Melalui jalur K.H. Ahmad Ngadirejo, kemudian K.H. Abdul Rozaq Tremas ini, Thariqah Syadziliyah juga diturunkan kepada K.H. Mustaqim Tulungagung. Kemursyidan Kiai Mustaqim kemudian dilanjutkan oleh K.H. Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh Pondok Pesantren Peta (Pesulukan Tarekat Agung) Tulungagung. Dan pada akhir abad dua puluh, pusat pengajaran Thariqah Syadziliyyah terbesar berada di beberapa pesantren : Pesantren Peta di Tulungagung dengan guru mursyidnya Kiai Abdul Jalil Mustaqim, Pesantren Watucongol Magelang dengan mursyid Kiai Muhammad Abdul Haqq bin Dalhar alias Mbah Mad, Pesantren Parakan Temanggung oleh Kiai Muhaiminan Gunardo, dan Pesantren Cidahu Pandeglang oleh Abuya Dimyathi. Selain di beberapa pesantren tersebut, pengajaran Thariqah Syadziliyyah juga diberikan oleh guru mursyid non pesantren. Yang terkenal di desa Kacangan Boyolali oleh Kiai Idris dan –yang terbesar-- di Noyontakan Pekalongan yang diasuh oleh Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya. Namun sayangnya saat ini hanya tinggal Habib Luthfi saja yang masih hidup, sementara yang lain telah wafat sepanjang satu dasa warsa lalu. Yang menarik, meski baru tersebar luas di awal abad dua puluh, konon Thariqah Syadziliyyah sudah masuk negeri ini, khususnya Jawa Timur, sejak awal akhir abad 18. Pembawanya adalah Syaikh Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari, seorang ulama asal dari Iskandariyyah Mesir yang kini dimakamkan di makam auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur. Ijazah Dari Rasulullah Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah. Di negeri ini kehadiran Thariqah Tijaniyyah sempat mengundang polemik, karena pendirinya mengaku mendapat ijazah langsung dari Rasulullah dalam keadaan sadar dan thariqahnya menyempurnakan serta menutup thariqah-thariqah lain. Meski sempat ditentang oleh ulama thariqah lain, Tijaniyyah tumbuh subur di Cirebon dan Garut dengan Pesantren Buntet, Cirebon sebagai pusatnya. Saat ini terdapat tak kurang dari 28 muqaddam, istilah untuk guru mursyid dalam thariqah ini, yang tersebar di seluruh Indonesia. Masih banyak lagi thariqah-thariqah lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya wali songo seperti Thariqah Kubrawiyyah, sampai yang baru masuk Indonesia di penghujung abad dua puluh, seperti Thariqah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah. Masalah kemu’tabaran itu memang selalu menjadi isu krusial dalam dunia thariqah, karena dengan menyandang status mu’tabar suatu thariqah diakui ketersambungan sanadnya sampai kepada Rasulullah. Kemu’tabaran suatu thariqah sekaligus juga menyiratkan kemurniannya dari pengaruh ajaran metafsik lain yang menyesatkan. Untuk menjaga kemurnian dan kemu’tabaran ajaran thariqah-thariqah tersebut, sejak tahun 1979, pada muktamarnya ke-26, warga Nahdlatul Ulama membentuk Jamiyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, badan otonom NU yang melaksanakan mandat warga nahdliyyin seputar dunia pertarekatan. Dan saat ini Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah telah mengakui kemu’tabaran empat puluh empat thariqah di Indonesia. Dari organisasi ini diharapkan akan semakin banyak kemanfaatan lahir dan tersebar di nusantara, dari kaum thariqah. Sebagaimana selama ini insan thariqah telah membuktikan jati dirinya melalui dakwah, dzikir dan perjuangan merebut kemerdekaan. Semoga!. (Kang Iftah, Januari 2009) Sumber : Martin VB (Tarekat Naqsyabandiyyah di Indonesia dan Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat), dan beberapa sumber lain. Posted by Kang Turab at 11:37 AM 2 comments: Serial Tarekat II Mursyid-mursyid Thariqah di Jawa Saat Ini Setelah berkembang selama lebih dari enam abad, thariqah saat ini telah tersebar di seluruh nusantara. Pada awal abad dua puluh satu ini ribuan guru mursyid tinggal dan mengajarkan ilmunya di seluruh pelosok tanah air. Berikut sekilas profil lima mursyid yang mewakili tiga thariqah terbesar di tanah air: Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, Naqsyabandiyyah Khalidiyyah dan Syadziliyyah. Tokoh pertama adalah Abah Anom. Kedudukannya sebagai seorang mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekaligus ulama sepuh membuatnya menjadi tempat berteduh bagi jiwa-jiwa yang dahaga. Sebagai orang tua telah kenyang dengan asam garam kehidupan Abah Anom dengan arif menerima kunjungan tamu-tamunya, siapapun adanya dan apapun kepentingannya. Hidupnya dengan ikhlas dipersembahkan untuk melayani umat manusia. Belum lagi kemasyhuran pesantren Suryalaya sebagai tempat penyembuhan pecandu narkoba dan penyakit psikis dengan metode Islamic Hidrotherapy, yang formulanya dirancang oleh Abah Anom. Metode ini menggabungkan konsep cold turkey system yang diislamkan melalui mandi taubat, serangkaian shalat dengan dzikir ala Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Program yang semula diniatkan untuk membantu program pemerintah tahun 1971 ini kemudian berlanjut terus dan dilembagakan dalam pesantren remaja Inabah. Abah Anom yang sejak muda tidak makan daging dan selalu minum air putih itu adalah putra kelima KH. Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) dari istri keduanya Hj. Juhriyah. Ia memang disiapkan ayahnya untuk meneruskan kepemimpinan thariqah di Suryalaya. Selepas pendidikan dasar di sekolah dan pesantren orangtuanya, pada tahun 1930 Abah Anom memulai pengembaraan menuntut ilmu agama Islam secara lebih mendalam. Diawali dengan mengaji ilmu fiqih di pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu alat dan balaghah di pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah dua tahun di Jambudipa ia melanjutkan mengaji pada ajengan Syatibi di Gentur Cianjur dan ajengan Aceng Mumu di pesantren Cireungas Sukabumi yang terkenal dengan penguasaan ilmu hikmahnya pada 2 tahun berikutnya. Kegemaran akan ilmu silat dan hikmah kemudian diperdalam di pesantren Citengah Panjalu yang diasuh oleh Ajengan Junaidi, seorang ulama ahli ilmu alat dan hikmah. Kematangan ilmu Abah Anom di usia 19 tahun diuji dengan kepercayaan yang diberikan oleh Abah Sepuh untuk membantu mengasuh pesantren Suryalaya sampai beliau wafat pada tahun 1956 dalam usia 120 tahun. Dua tahun sebelum wafat Abah Sepuh mengangkat Abah Anom menjadi wakil talqinnya, kemudian menjadi mursyid penuh Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekaligus pengasuh pesantren menggantikan Abahnya yang mulai sakit-sakitan. Manajer Handal Beban tanggung jawab yang begitu berat tertumpu dibahunya di usianya yang baru menginjak 41 tahun, menenggelamkan Abah Anom ke dalam samudera riyadhah. Kecintaannya kepada pesantren, thariqah dan umat melarutkan hari-harinya dalam ibadah, tarbiyah dan doa. Sepanjang sisa hidupnya Abah Anom hampir tidak pernah tidur, demikian cerita salah satu keponakan Abah Anom yang pernah mengabdi di rumahnya. Di luar kegiatan ibadah mahdlah, mengajar dan kunjungan, Abah Anom menghabiskan seluruh waktunya dengan melakukan dzikir khafi. Setiap kali kantuk menyerang, Abah Anom segera berwudhu dan shalat sunah lalu melanjutkan dzikirnya. Selain berdzikir, Abah Anom juga seorang manajer yang handal. Di tangannya Suryalaya, yang dulunya pesantren kecil di tengah hutan, berkembang pesat menjadi salah satu pesantren yang sangat disegani di negeri ini. Santri dan pengikutnya yang mencapai angka jutaan tersebar di seluruh Indonesia bahkan negeri-negeri tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan lain sebagainya. Jumlah ini mencakup sekitar 3000 santri yang bermukim untuk belajar dan kuliah di lingkungan pesantren Suryalaya, alumni, puluhan santri remaja Inabah serta jutaan ikhwan-akhwat Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN). Kini di usianya yang semakin senja, Abah Anom tidak lagi secara intens mendampingi santrinya. Tubuhnya yang semakin renta tak lagi mampu mensejajari semangat dan kecintaannya kepada sesama. Karena itu beberapa tahun belakangan semua urusan pesantren dan thariqah diserahkan kepada 3 orang yang ditunjuk sebagai Pengemban Amanat, yang terdiri dari KH. Zainal Abidin Anwar, KH. Dudun Nur Syaidudin dan KH. Nur Anom Mubarok. Namun demikian dengan sisa-sisa tenaga yang semakin melemah Abah Anom tetap bersikeras menerima semua tamu yang mengunjunginya dari berbagai pelosok tanah air, walau hanya sekedar dengan berjabat tangan. Juga diyakini, secara ruhaniah Abah Anom masih akan terus mengasuh jiwa-jiwa yang membutuhkan tetes demi tetes embun hikmah yang mengalir dari kejernihan telaga hatinya. Tokoh mursyid ternama lain dari Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Indonesia adalah K.H. Ahmad Asrori Al-Ishaqi, pemimpin Jamaah Al-Khidmah yang berpusat Kedinding Lor, Surabaya. Sebagai ciri khas, Kiai Asrori menambahkan kata Al-Utsmaniyyah di belakang thariqahnya yang merujuk kepada ayahandanya, K.H. Utsman Al-Ishaqi. Kiai Utsman yang masih keturunan Sunan Giri itu adalah murid kesayangan dan badal K.H. Romli Tamim (ayah K.H. Musta’in), Rejoso, Jombang, salah satu sesepuh Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di negeri ini. Ia dibaiat sebagai mursyid bersama Kiai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri Mojosari Mojokerto. Sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), Kiai Utsman mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya, Sawah Pulo, Surabaya. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan diberikan kepada putranya, Gus Minan, sebelum akhirnya ke Gus Rori. Konon pengalihan tugas ini berdasar wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya. Di tangan Gus Rori jamaah thariqah tersebut semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Gus Rori memilih membuka lahan baru, yakni di Kedinding Lor yang dibukanya dari nol. Keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Inilah yang menjadikannya didekati banyak pejabat dan juga kalangan selebriti. Jemaah tarekatnya tidak lagi terbatas pada para pencinta tarekat sejak awal, melainkan melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan tarekat. Menyajikan Suguhan Hebatnya, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, Gus Rori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Ia adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan tak jarang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu. Kini, ulama yang usianya sekitar lima puluh tahunan itu menjadi magnet tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya ahli tarekat. Karena kesibukannya dan banyaknya tamu, Gus Rori kini menyediakan waktu khusus buat para tamu, yaitu tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jemaah baru maupun jemaah lama, dilakukan seminggu sekali. Ada tiga macam pembaiatan yang dilakukan Kiai Asrori, yaitu Bai’at bihusnidzdzan bagi pemula, Bai’at bilbarakah (tingkat menengah), dan Bai’at bittarbiyah (tingkat tinggi). Untuk menapaki level-level itu, tiap jemaah diwajibkan melakukan serangkaian zikir rutin sebagai ciri tarekat, yaitu zikir Jahri (dengan lisan) sebanyak 160 kali dan zikir khafiy (dalam hati) 1.000 kali tiap usai salat. Kemudian, ada zikir khusus mingguan (khushushiyah/usbu’iyah) yang umumnya dilakukan berjemaah per wilayah, seperti kecamatan. Kunjungan ke tempat lain – sampai ke mancanegara – pada intinya acaranya sama, yaitu zikir. Sedangkan di kediaman Gus Rori sendiri diadakan dua minggu sekali. Minggu pertama untuk jemaah umum, sedangkan minggu kedua untuk kalangan khusus. Yang kedua ini menarik, karena yang hadir hampir kesemuanya orang Madura. Maka, ceramah dan lainnya berbahasa Madura. Sementara itu di Jawa Tengah tokoh mursyid thariqah terbilang cukup banyak. Dari kalangan Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, misalnya, terdapat salah seorang tokoh besar yang sangat bersahaja. Dialah K.H. Muhammad Salman Dahlawi, pengasuh pesantren Al-Manshuriyah Popongan, Klaten. Ratusan ribu murid Mbah Salman saat ini tersebar di seantero Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur bahkan Sumatera. Mbah Salman, demikian sang kiai akrab disapa, adalah anak laki-laki tertua dari K.H.M. Mukri bin K.H. Kafrawi. Dan dia merupakan cucu laki-laki tertua dari K.H.M. Manshur, pendiri pesantren yang sekarang ini diasuhnya. Kiai Manshur sendiri adalah putra dari Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo, salah seorang khalifah Syaikh Sulaiman Zuhdi, guru besar Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Jabal Abi Qubais Makkah. Sebagai cucu laki-laki tertua, Salman memang dipersiapkan oleh sang kakek, K.H.M. Manshur yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai awliya, untuk melanjutkan tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus mursyid Thariqah Naqsyabandiyah. Tahun 1953, ketika Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun kemudian, membai’atnya sebagai mursyid, guru pembimbing tarekat. Maka, ketika pemuda-pemuada lain seusianya tengah menikmati puncak masa remajanya,–mau tidak mau- Gus Salman harus memangku jabatan pengasuh pesantren sekaligus mursyid. Untuk menambah bekal pengetahuannya sebagai pengasuh, Gus Salman nyantri lagi ke pesantrennya K.H. Khozin di Bendo, Pare, Kediri selama kurang lebih empat tahun (1956 – 1960). Sebulan sekali, ia nyambangi pesantren yang diasuhnya di Popongan, yang selama Salman mondok di Kediri, diasuh oleh ayahnya sendiri, K.H.M. Mukri. Sebelum diangkat menjadi mursyid, Salman mengenyam pendidikan di Madrasah Mamba’ul Ulum, Solo dan beberapa kali nyantri pasan (pengajian bulan Ramadhan) kepada K.H.Ahmad Dalhar, Watu Congol, Magelang, Pesantren Sepuh Seiring dengan perkembangan jaman, pesantren yang diasuh oleh Kiai Salman juga mengalami perkembangan. Jika semula santri hanya ngaji dengan sistem sorogan dan bandongan, mulai tahun 1963 didirikan lembaga pendidikan formal mulai Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Diniyah (1964), Madrasah Aliyah (1966) dan yang terakhir TK Al-Manshur (1980). Saat ini pesantren Al-Manshur Popongan terdiri tiga bagian : pesantren putra, pesantren putri dan pesantren sepuh yang diikuti oleh orang-orang tua yang menjalani suluk, lelaku tarekat. Berbagai bentuk kegiatan pesantren juga ditata ulang, sekaligus dengan penunjukkan penanggung jawabnya. Kiai Salman sendiri, selain sebagai sesepuh pesantren, juga mengasuh santri putra dan santri sepuh (santri thariqah) yang datang untuk suluk dan tawajuhhan pada bulan-bulan tertentu. Belakangan, seiring dengan kian lanjutnya usia beliau, Kiai Salman tampaknya juga menyiapkan kader pribadinya, baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid thariqah, yaitu Gus Multazam (35 th). Kondisi fisik Kiai yang sangat tawadhu ini, belakangan, memang agak melemah dan intonasi suaranya tidak lagi sekeras dulu. Maka putra ketujuhnya yang lahir di Makkah inilah yang menjadi badalnya (pengganti) untuk memberikan pengajian-pengajian. Figur yang amat bersahaja, ramah serta tawadlu’ adalah kesan yang akan didapati oleh siapapun yang bertamu ke rumah kiai, yang bulan Ramadlan 1425 H lalu genap berusia 70 tahun menurut perhitungan hijriyah ini. Ketika berbicara dengan para tamunya Kiai Salman lebih sering menundukkan kepala sebagai wujud sikap rendah hatinya. Bahkan tidak jarang, beliau sendiri yang membawa baki berisi air minum dari dalam rumahnya untuk disuguhkan kepada para tamu. Selain Mbah Salman, ada juga tokoh mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah di Nangroe Aceh Darussalam. Namanya Teungku Dr. Muhibbudin Waly, putra dari Syaikh Muhammad Waly, seorang guru tarekat Naqsyabandiyah Waliyah di tanah Rencong yang berasal dari nagari Minangkabau. Dari garis ayahandanya, yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Syaikh Muda Waly, mengalir darah ulama besar di Minang. Paman Syaikh Muda Waly, misalnya, adalah Datuk Pelumat, seorang wali Allah yang sangat termasyhur di tanah Minangkabau. Sebagaimana kedudukan pamannya, Syaikh Muda Waly juga mewarisi kharisma dan karomahnya. Konon beliau pernah memindahkan anaknya dari Minangkabau ke Aceh dalam sekejap mata. Syaikh Muda Waly, ayah Buya Muhibbudin adalah sahabat Syaikh Yasin al-Fadany Mekkah saat masih sama-sama berguru pada Sayyid Ali Al-Maliky, kakek dari Sayyid Muhammad bin Alawy bin Ali Al-Makky al-Maliky al-Hasany. Karena hubungan itu pula, ulama besar tersebut pernah mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya kepada Buya beberapa tahun lalu. Pertemuan berikutnya dengan Syaikh Yasin al-Fadani juga tidak berbeda. Sambil terus memegang tangannya, Syaikh Yasin kemudian memberikan ijazah atas semua hadits Rasulullah yang dikuasainya. Teungku Muhibbudin Waly belajar tarekat pertama kali dari ayahnya, yang membimbingnya meniti tarekat Naqsyabandiyah. Namun karena takzim, setelah dianggap cukup, Syaikh Muda Wali menyerahkan pengangkatan anaknya menjadi mursyid kepada gurunya, Syaikh Abdul Ghoni al-Kampary. Ahli Ushul Fiqh Saat itu di pesisir timur utara pulau Sumatera, ada dua orang guru mursyid besar yang tinggal di daerah Riau. Keduanya termasyhur min jumlatil aulia, termasuk golongan wali-wali Allah, yaitu Syaikh Abdul Ghoni Kampar yang murid-muridnya kebanyakan adalah para ulama dan Syaikh Abdul Wahhab Rokan yang murid-muridnya adalah orang-orang awam. Belakangan Buya Muhibbudin Waly juga mendapat ijazah irsyad, menjadi guru mursyid, Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dari ulama kharismatik KH. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin (Abah Anom) pengasuh pesantren Suryalaya dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari guru besarnya Syaikh Muhammad Nadzim Al-Haqqany. Silaturahmi dan selalu belajar kepada para alim ulama memang sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging, bahkan hingga kini. Buya menceritakan nasihat ayahandanya, “Jika kau bertemu dengan orang alim, jangan pernah berdebat. Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya, minta doa dan ijazahnya lalu cium tangannya.” Syaikh Muhibbudin Waly mengambil gelar doktornya di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Kairo dengan disertasi tentang Pengantar Hukum Islam. Waktu kuliahnya terbilang singkat yang diselesaikannya tahun 1971. Kini, setelah kesibukannya sebagai anggota DPR RI berakhir tahun 2004 lalu, Buya Muhibbudin Waly lebih banyak mengisi waktunya dengan mengajar tarekat, dan menulis. Saat ini ada beberapa buku tentang Tasawuf dan pengantar hukum Islam yang sedang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku ensiklopedi Tarekat yang diberi judul Kapita Selecta Tarekat Shufiyyah. Waktu senggangnya juga dimanfaatkan untuk “meramu” tiga buah kitab yang diharapkan akan jadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya. Tiga kitab tersebut adalah Tafsir Waly (Tafsir al-Quran), Fathul Waly (Syarah dari kitab Jauharatut Tauhid) dan Nahjatuh an-Nadiyah ila Martabat as-Shufiyyah (Sebuah kitab di bidang ilmu Tasawuf). Sebagai pewaris darah pujangga-pujangga Minangkabau, kemahirannya dalam menulis syair pun tak perlu diragukan lagi. Belum lama ini beliau mengijazahkan syair tawasul tarekat, yang digubahnya sendiri dalam dua bahasa Arab dan Melayu, kepada murid-murid tarekatnya. Syair yang cukup panjang ini menceritakan tentang proses perjalanan suluknya, yang diselingi dengan doa tawasul kepada para pendiri tarekat-tarekat besar dan guru-guru yang dimuliakannya. Kini, di usianya yang terbilang senja, Buya mengaku tidak lagi sekuat dulu dalam berkhidmah pada agama, nusa dan bangsa. Namun demikian beliau tetap berusaha melayani umat. Karena itu ia membagi jadwal kegiatan bulannannya menjadi tiga. Bulan pertama Buya tinggal di Jakarta, bulan kedua ia habiskan di Aceh dan bulan ketiga Tengku Muhibbudin melayani undangan ke daerah-daerah lain. Selain kedua thariqah di muka, thariqah yang pengikutnya tak kalah besar saat ini adalah Thariqah Syadziliyyah. Menjelang akhir abad dua puluh lalu ada beberapa pusat pengajaran thariqah Syadziliyyah di Jawa yang sangat besar, yaitu Pesantren Peta Tulungagung yang diasuh Kiai Abdul Jalil Mustaqim, Pesantren Watucongol Magelang yang diasuh K.H. Ahmad Abdul Haq, Pesantren Parakan Temanggung yang diasuh K.H.R. Muhaminan Gunardo, Pesantren Cibadak Pandeglang yang diasuh K.H. Dimyathi, Zawiyyah Kacangan dipimpin oleh K.H. Idris dan Kanzus Shalawat yang diasuh Habib Luthfi Bin Yahya. Telah Wafat Namun sayangnya, sebagian besar pengasuh itu telah wafat. Dan saat ini hanya tinggal Habib Luthfi dan K.H. Ahmad Abdul Haq saja yang masih hidup dan mengajarkan thariqahnya. Habib Luthfi bin Ali bin Haysim Bim Yahya, misalnya, saat ini berkududukan sebagai Khalifah Thariqah Sadziliyyah sekaligus pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyyah (JATMAN), organisasi pengikut tarekat yang anggota terbai’atnya mencapai 30 jutaan orang. Habib Luthfi adalah sosok pelayan umat sejati. Setiap hari, rumahnya di kawasan Noyontaan Gang 7, Pekalongan, Jawa Tengah, selalu marak oleh tamu yang datang dari berbagai daerah di tanah air. Hampir 24 jam, pintu rumah ayah lima anak itu selalu terbuka untuk ratusan orang yang datang dengan berbagai keperluan. Mulai dari minta restu, mohon doa dan ijazah, sampai konsultasi berbagai problematika kehidupan. Biasanya mereka akan merasa tenang setelah mendapat nasihat. “Habib, suami saya terkena penyakit liver dan hatinya tinggal 20 persen yang berfungsi. Saya mohon Habib mendoakan suami saya,” kata seorang ibu suatu ketika sambil terisak. Dengan lembut, Habib Luthfi menghiburnya, “Ibu, tidak ada penyakit yang bisa mematikan seseorang. Semua itu berada di tangan Allah. Karena itu berdoalah. Tak ada yang mustahil bagi Allah, semuanya mungkin.” “Mereka kan tamu saya, sudah menjadi kewajiban saya untuk menghormati tamu. Karena itu, saya selalu terbuka,” demikian jawab Habib Luthfi ketika ditanya tentang para tamunya. Selain melalui konsultasi yang waktunya nyaris tanpa batas, Habib Luthfi juga menularkan ilmunya melalui majelis taklim yang digelar seminggu dua kali. Selasa malam, ba’da Isya’, Habib Luthfi membacakan kitab Ihya Ulumiddin. Keesokan paginya, pukul 06.00 – 07.30 Habib Luthfi mengajarkan kitab fiqih Taqrib untuk kaum hawa. Selain kajian mingguan, setiap ba’da Subuh hari Jumat Kliwon, Habib Luthfi juga membacakan kitab Jami’ul Ushul fil Auliya’. Di antara tiga majelisnya, pengajian malam Rabu dan Jum’at pagi itulah yang selalu dihadiri ribuan umat hingga menutup jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo. Meski banyak mengkaji tasawuf, majelis taklim tersebut terbuka untuk siapa saja. Untuk memasuki tarekat, menurut sang Habib, seseorang harus mengerti tauhid dan fiqih terlebih dahulu. Dalam tauhid, misalnya, minimal calon pengikut tarekat harus mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil, dan yang jaiz bagi Allah dan rasul-rasul-Nya. Dalam fiqih, ia harus tahu semua perintah oleh Allah, terutama shalat lengkap dengan syarat kelengkapannya, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya. Ia juga harus memahami perkara yang halal dan yang haram, yang diperintahkan dan yang dilarang. Dengan demikian, seseorang tidak boleh memasuki tarekat begitu saja tanpa mengetahui dan memenuhi syarat-syaratnya, terutama bidang syariat. Karena, pada dasarnya tarekat adalah cara bagaimana membuahkan syariat, sebagaimana dikatakan oleh kaum sufi ath-Thariqatu natijatusy-syariah (tarekat adalah buah dari syariat). Bersilaturahmi dan mengaji kepada Habib Luthfi, baik secara langsung maupun melalui buku karyanya, memang menyenangkan. Pribadinya mencerminkan keluwesan dan keleluasaan khas ulama tradisional. Kedalaman ilmunya juga dipadu dengan keluasan wawasan keumatannya, sehingga setiap kalimat mengalir dengan lancar dan penuh hikmah. Beberapa orang juga meyakini, Habib Luthfi sebagai sosok yang waskita, atau dalam bahasa jawa weruh sak durunge winarah, alias mengetahui hal yang belum terjadi. Ditempa Para Wali Tentu saja semua keistimewaan itu tidak datang dengan tiba-tiba. Beberapa ulama besar yang termasyhur sebagai waliyullah telah ikut menempanya sejak kecil. Sebut saja Habib Ahmad bin Ismail Bin Yahya dan Habib Umar bin Ismail Bin Yahya alias Abah Umar, seorang waliyullah yang tinggal di desa Panguragan, Arjawinangun, Cirebon, yang mengasuh Habib Luthfi kecil ketika ia tinggal di desa itu. Dari tokoh eksentrik itulah untuk pertama kalinya Habib Luthfi mempelajari ilmu kehidupan. Selain itu Habib Luthfi juga pernah berguru kepada Habib Syekh bin Abu Bakar bin Yahya (Cirebon) dan Mbah K.H. Muhammad Bajuri (Indramayu). Puncaknya, Habib yang piawai memainkan alat musik organ dan sering menggubah lagu itu mendalami tarekat Syadziliyyah kepada Al-Habib Muhammad Abdul Malik bin Ilyas Bin Yahya, alias Mbah Malik. Setelah beberapa tahun berguru kepada waliyullah yang tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah, itulah Habib Luthfi memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Syadziliyyah. Kedudukan sebagai pimpinan kaum tarekat di tanah air, memang membuat Habib Luthfi didekati semua kalangan. Ia juga sering dikunjungi para guru mursyid dari berbagai negara, seperti Syaikh Hisham Kabbani, mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah dari Amerika Serikat dan Syaikh Muhammad Al-Ya’qoubi, mursyid Tarekat Syadziliyyah dari Damaskus, Syiria. Dalam pertemuan antar mursyid tersebut, di samping saling berkisah tentang aktivitas dakwah masing-masing, biasanya mereka juga salang meminta ijazah atas sanad keilmuan yang dimiliki. (Kang Iftah, Januari 2008) Posted by Kang Turab at 11:29 AM 2 comments: Thursday, August 13, 2009 Renungan Dari Sudut Khanaqah BERTINGKAH SEPERTI TUHAN Di jaman modern, bertingkah seperti tuhan telah demikian lekat dengan kehidupan orang kebanyakan. Demikian halus tipu daya setan sehingga pelaku dan orang-orang di sekitarnya pun tidak merasa bahwa perbuatannya bertentangan dengan kode etik kemakhlukan. Suatu sore seorang pemuda sowan kepada seorang guru mursyid di pesantrennya yang terletak di lereng sebuah gunung di Jawa Barat. Setelah menyampaikan salam dan basa basi, keduanya lalu asyik berdiskusi mengenai akidah dan tasawuf. Setelah hampir dua jam, si pemuda menjadi terpesona oleh gaya bicara sang mursyid yang berapi-api dan energik. Iseng-iseng ia lalu menanyakan usia kiai yang bertubuh tinggi kekar tersebut. Dan Jawaban sang kiai membuatnya terperanjat, “Umur saya baru saja melewati 75 tahun,” ungkapnya sambil tersenyum. Pemuda tersebut semakin tertarik, karena bukan saja gaya bicaranya yang masih energik, tetapi seluruh gerak gerik dan langkah kaki sang mursyid pun masih mantap dan kokoh, seakan usianya baru 50 tahunan. Penasaran ia menanyakan resep awet muda dari sang mursyid. Dengan sorot mata yang menusuk, kiai tersebut menjawab, “Kuncinya satu. Jangan memonopoli kekuasaan Allah atas makhluknya. Jangan bertingkah sebagai tuhan di muka bumi.” Pemuda yang semula sangat bersemangat itu langsung terhenyak. Kalimat tersebut begitu dalam maknanya, dan terus terngiang-ngiang di kepalanya sampai berbulan-bulan kemudian. Kata-kata sang mursyid selanjutnya, seakan memindahkan kesadaran nalarnya ke titik hampa. Jangan bertingkah sebagai Tuhan, Allah penguasa langit dan bumi beserta seluruh isinya, yang curahan kasih sayang-Nya menjangkau –bahkan- setiap nucleus, inti atom, yang tersebar di semesta raya. Tak ada satu makhluk pun yang dibiarkan-Nya hidup tanpa limpahan rizki dan anugerah-Nya, seperti halnya seekor tungau yang remeh temeh pun telah ditetapkan jatah sandang, pangan dan papan sepanjang hidupnya sejak jaman azali. “Sekarang semakin banyak kepala keluarga --yang hanya karena telah memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya lalu-- merasa telah memberi rizki. Banyak juga majikan, yang karena telah memberi upah kepada buruhnya, lalu ia merasa sudah memberi rizki...,” terlintas lagi wajah tegas sang guru di benaknya. Tokoh kiai tersebut tidak lain adalah KH Zainal Abidin Anwar, wakil talqin Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya. Bertingkah seperti tuhan, bukan sebuah problematika kontemporer. Dalam penggalan sejarah, Al-Quran mengabadikan kisah-kisah orang yang pernah mengaku sebagai tuhan, Namrudz penentang Nabi Ibrahim, Fir’aun seteru Nabi Musa dan Nebukadnezard atau Bukhtanashor musuh Nabi Danial AS. Sejarah juga mencatat beberapa tokoh yang bertingkah layaknya tuhan, seperti Qarun yang congkak dan takabur karena membanggakan kekayaannya yang melimpah ruah. Dan kini, di zaman modern, bertingkah seperti tuhan ternyata justru semakin lekat dalam kehidupan orang kebanyakan. Demikian halus tipu daya setan sehingga pelaku dan orang-orang di sekitarnya pun tidak merasa bahwa perbuatannya bertentangan dengan kode etik kemakhlukan. Takabur, misalnya, bagi manusia adalah ketergelinciran hati dari sifat ikhlas yang menghiasi kelurusan hidup. Karena ketiadaan kekuatan, kekuasan dan kekayaan yang secara hakiki dimiliki oleh makhluk. Ibn Athailah Assakandary mengajarkan, “Allah ta’ala melarang kalian mengakui yang bukan hak kalian dari para makhluk. Apakah Dia akan memperkenankanmu untuk mengaku bersifat (dengan sifat) Allah, padahal Dia adalah Pengasuh semesta alam.” (Al-Hikam) Penangkal dari ketergelinciran ini adalah tajrid at-tauhid, perlucutan tauhid dari selainnya, terutama terutama dalam ranah Rububiyah, keyakinan bahwa hanya Allah saja satu-satunya zat yang menciptakan, menjaga dan mengayomi alam semesta. Sementara, apapun yang dilakukan manusia adalah bagian dari proses perjalanan ta’abud, penghambaan diri, kepada sang Maha Raja. Maka bersikap sebagai sesama hamba dengan –apapun dan siapapun- makhluk Allah yang lain adalah kemutlakan yang harus dijalani, tanpa embel-embel apapun. (Kang Iftah, Jakarta 2005) Posted by Kang Turab at 12:34 AM No comments: Sunday, October 20, 2013 Thariqah Syadziliyyah Di Jawa Abad 19-20 GENEALOGI KEMURSYIDAN THARIQAH SYADZILIYYAH DI SALA Oleh Kang Iftah Sejarah thariqah di Indonesia diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke nusantara itu sendiri. Proses islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah. Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.[1] Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17 cukup sulit dilacak.[2] Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim. Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah.[3] Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidaklah mungkin.[4] Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thariqah dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa. Thariqah lain yang masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul. Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah.[5] Seiring kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal. Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya. Selain dua thariqah tersebut, debus juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah). Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah.[6] Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, ada lagi beberapa thariqah yang masuk ke nusantara di seputar abad 19-20. Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah (TNK), hasil pembaruan dari thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maulana Khalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula Khalid) itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.[7] Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga). Khalifah pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sementara kekhalifahan Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan Klaten, lalu oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi, serta murid-muridnya : Kiai Arwani Amin Kudus, K.H. Abdullah Salam Kajen dan K.H. Hafidh Rembang. [8] Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto. Sepeninggal Mbah Malik kemursyidan Naqsyabandiyyah diteruskan murid kesayangannya, Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya di pekalongan. Sementara kemursyidan di Kedung Paruk diteruskan oleh cucunya K.H. Abdul Qadir bin Ilyas Noor, lalu diteruskan adiknya K.H. Said bin K.H. Ilyas Noor dan kini dilanjutkan oleh K.H. Muhammad bin Ilyas Noor.[9] Selain mewariskan Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga mewariskan ijazah kemursyidan beberapa thariqah kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya adalah Thariqah Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat yang berasal dari Afrika Utara tersebut. Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; Kyai Abdurrahman (Syaikh Abdul Kaafi II) Sumolangu, Kebumen; dan K.H. Idris Jamsaren, Solo. Keenam guru Syadziliyah pertama memiliki mata rantai sanad yg sama: Kyai Ahmad, Kyai Abdullah, Kyai Abdurrahman, Mbah Malik dan Mbah Dalhar mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al-Makki, ulama Haramain asal Banyumas. Sementara Kiai Idris Jamsaren yang satu generasi lebih tua mendapatkan ijazah kemursyidannya dari guru Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram, yakni Syaikh Muhammad Shalih Al-Mufti Al-Hanafi.[10] Masih banyak lagi thariqah-thariqah lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya wali songo seperti Thariqah Kubrawiyyah, sampai yang baru masuk Indonesia di penghujung abad dua puluh, seperti Thariqah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah atau Syadziliyyah Darqawiyyah yang dibawa para alumnus Damaskus, Syiria[11]. Namun demikian, meski secara umum thariqah terus berkembang dan bertambah jumlah pengikutnya, namun karena ada beberapa kekhasan tradisi, seperti sistem kemursyidan yang cukup rumit, banyak pusat pengajaran thariqah yang saat ini mengalami kemandegan bahkan hilang sama sekali. Salah satunya adalah pusat pengajaran thariqah Syadziliyyah di Kota Solo. Pada masa keemasaannya, Kota Solo dan sekitarnya pernah menjadi pusat pengajaran Thariqah Syadziliyyah, dengan beberapa guru mursyid yang cukup terkenal di kalangan ahlith thariqah. Pada era abad 19, ada dua tokoh yang sangat terkenal dan kharismatik, yaitu K.H. Idris, pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, dan K.H. Ahmad, pengasuh Pesantren Ngadirejo Klaten. Pada era selanjutnya, juga dikenal tokoh Kyai Siradj, Panularan, dan Kyai Abdul Muid, Tempursari-Klaten, lalu setelahnya Kyai Ma’ruf Mangunwiyoto, Jenengan; Kyai Abdul Ghani Ahmad Sadjadi, dan terakhir Kyai Idris, Kacangan, Boyolali. Dari beberapa nama tersebut hanya Kyai Idris Jamsaren, Kyai Abdul Mu’id Tempursari, dan Kyai Ma’ruf yang mempunyai hubungan keluarga sekaligus hubungan guru murid. Setelah Kyai Idris Jamsaren wafat, Kyai Abdul Mu’id, sang kemenakan, menggantikan kedudukannya sebagai mursyid. Dan ketika Kyai Abdul Mu’id wafat, sang putra Kyai Ma’ruf Mangunwiyoto yang menjadi penggantinya. Namun sayang, ketika Kyai Ma’ruf wafat, regenerasi kemursyidannya berhenti, seperti halnya mursyid-mursyid Thariqah Syadziliyyah lain di Solo dan sekitarnya. Sangat menarik menggali faktor-faktor yang menyebabkan kemandegan proses regenerasi tersebut. Hal ini mengingat, bahwa selain hadits, adalah thariqah yang sangat ketat menjaga tradisi sanadnya. Kemunculan Thariqah Sepeninggal Nabi SAW, fitnah besar terjadi di separuh terakhir masa pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, dan semakin menghebat pada masa daulah Bani Umayyah, di mana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan. Dan akhirnya berujung pada munculnya “pemberontakan” yang digerakkan oleh golongan khawarij, syiah, dan zuhhad. Dua golongan pertama memberontak dengan motivasi politik: merebut kekuasaan dan jabatan. Sementara golongan terakhir melakukan “pemberontakan” untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran agama dan kembali memakmurkan kehidupan rohani. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam. Fitnah yang muncul dari iri dan dengki yang lahir karena perasaan hubbud dunya wa karahiyatul maut (terlalu cinta pada kehidupan duniawi dan takut mati) itu pula yang belakangan mereka yakini telah menghancur leburkan Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani Abbasiyyah. Meski keduanya pernah termasyhur sebagai merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia,dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat.[12] Gerakan para Zuhhad pada mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum muslimin yang semata- mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup unuk mencapai ridlo Allah Swt, agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh berkembang menjadi alat unuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam, yaitu mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepada Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadhah (laku pihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah). Dengan isilah lain, laku batin yang mereka tempuh dimulai dengan takhalli (mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela), lalu tahalli (menghiasi hati dengan sifat yang terpuji), lalu tajalli (mendapatkan pencerahan dari Allah SWT). Tata caa kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang di kalangan masarakat muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan ilmu Tashawuf atau sufisme. Bersamaan munculnya Tasawuf di akhir abad kedua hijriah, lahir juga istilah thariqah yang perlahan mulai menemukan bentuknya sebagai sebuah sistem dan metodologi yang terdiri dari sekumpulan aqidah, akhlak, dan seperangkat aturan terentu bagi kaum sufi. Thariqah Shufiyyah, metode kaum sufi, saat itu menjadi penyeimbang terhadap Thariqah Arbabil Aql wal fikr, metode penalaran kelompok orang yang menggunakan akal dan pikiran. Thariqah yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa) sedangkan yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata /empiris). Istilah thariqah juga digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang guru musyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami orang banyak ketika mendengar kata thariqah atau tarekat. Pada perkembangan berikutnya, berkembang perbedaan metode laku batin yang diamalkan dan diajarkan para tokoh sufi kepada muridnya, yang disebabkan perbadaan pengalaman dan rasa antar masing-masing tokoh, meski tujuan akhir mereka semua tetap sama: menggapai ridha dan cinta Allah SWT. Perbedaan metode itulah yang akhirnya memunculkan aliran-aliran thariqah yang namanya diambil dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qadiriyah, Rifa’iyyah, Syadziliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya. Mursyid Thariqah Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam.[13] Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah.[14] Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.[15] Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW. [16] Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para politisi.[17] Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan pendidikan. Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya.[18] Selain penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah. Karena prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun terputus.[19] Selain Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi, murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri.[20] Ketika seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan suluknya kepada guru mursyid lain. Thariqah Syadziliyyah Thariqah Syadziliyyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syaikh Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzili, ulama kelahiran Ghamarah, sebuah kampung di wilayah al-Maghrib al-Aqsha yang sekarang dikenal dengan Maroko, pada tahun 593 H (1197 M), dan wafat di Humaitsara, Mesir pada tahun 656 H (1258M).[21] Beliau adalah seorang sufi pengembara yang mengajarkan bersungguh-sungguh dalam berdzikir dan berfikir di setiap waktu, tempat dan keadaan untuk mencapai fana’ (ketiadaan diri di hadapan Allah). Beliau juga mengajarkan pada muridnya untuk bersikap zuhud pada dunia dan iqbal (perasaan hadir di hadapan Allah). Beliau juga mewasiatkan agar para muridnya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Qutul Qulub. Syaikh Syadzili menjelaskan pada muridnya bahwa thariqahnya berdiri di atas lima perkara[22] yang pokok, yaitu: a. Taqwa pada Allah Swt dalam keadaan rahasia maupun terbuka. b. Mengikuti sunnah Nabi dalam perkataan maupun perbuatan. c. Berpaling dari makhluk (tidak menumpukan harapan) ketika berada di depan atau di belakang mereka. d. Ridlo terhadap Allah Swt dalam (pemberianNya) sedikit maupun banyak. e. Kembali kepada Allah Swt dalam keadaan senang maupun duka. Di samping itu beliau juga mengajak mereka untuk mengiringi thariqahnya dengan dzikir-dzikir dan do’a– do’a sebagaimana termuat dalam kitab-kitabnya, seperti Al-Ikhwah, Hizb Al-barr, Hizb Al-Bahr, Hizb Al Kabir, Hizb Al-Lathif, Hizb Al Anwar dan sebagainya. Thariqah Syadziliyah ini berkembang dan tersebar di Mesir, Sudan, Libia, Tunisia, Al-Jazair, Negeri utara Afrika, Syiria dan juga Indonesia. Dan belakangan thariqah ini kian digemari di Indonesia karena amalan wiridnya yang ringan, mudah dan tidak memakan banyak waktu, sangat cocok u ntuk kalangan pegawai atau karyawan yang jam kerjanya padat. Dan --untuk di Pulau Jawa saat ini—tentu karena ketokohan para mursyidnya, khususnya Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya yang saat ini menjabat sebagai tokoh sentral dalam Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, organisasi para pengamal thariqah mu’tabarah yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama. Thariqah Dan Kemursyidan Syadziliyyah di Solo Sebagaimana telah dipaparkan di pendahuluan, bahwa Thariqah Syadziliyyah diperkirakan telah masuk ke Jawa sejak zaman walisongo, yakni oleh Sunan Gunung Jati, Cirebon. Catatan lain memperkirakan Thariqah Syadziliyyah masuk ke Jawa Timur pada pengujung abad 18. Pembawanya adalah Mbah Mesir atau Syaikh Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari, seorang ulama asal dari Iskandariyyah Mesir yang kini dimakamkan di makam auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur.[23] Catatan dan bukti yang lebih jelas dan detail tentang penyebaran Thariqah Syadziliyah di Jawa baru ada di abad 19, ketika para santri Jawa yang sebelumnya berbondong-bondong belajar di Makkah dan Madinah pulang ke tanah air. Generasi awal adalah K.H. Idris, pendiri Pesantren Jamsaren, Solo, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab Hanafi di Makkah. Sementara guru-guru mursyid Syadziliyyah Jawa yang lain belajar pada generasi sesudah Syaikh Shalih, yakni Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram, ulama Haramain asal Banyumas, Jawa Tengah, yang seangkatan --atau lebih tinggi-- dengan Kyai Idris Jamsaren saat berguru kepada Syaikh Muhammad Shalih. Ulama Jawa yang berguru thariqah Syadziliyyah kepada Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram antara lain : K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; dan Sayyid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh Abdul Kaafi III) Sumolangu, Kebumen; dan Kiai Abdul Malik, Sokaraja, Banyumas. Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya K.H. Ahmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar (Salatiga).[24] Sayang ketiga pewaris kemursyidan Mbah Dalhar itu kini telah wafat. Sementara melalui jalur K.H. Ahmad Ngadirejo, ijazah kemursyidan kemudian diturunkan kepada K.H. Abdul Rozaq Tremas, kemudian diturunkan kepada K.H. Mustaqim Tulungagung. Kemursyidan Kiai Mustaqim kemudian dilanjutkan oleh K.H. Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh Pondok Pesantren Peta (Pesulukan Tarekat Agung) Tulungagung. Saat ini kemursyidan di PETA dipegang oleh K.H. Solahuddin (Gus Saladin), putra Kyai Abdul Jalil Mustaqim.[25] Selain mewariskan ijazah kemursyidan, Mbah Kyai Mustaqim juga mengangkat beberpa khalifah. Salah khalifah Kyai Mustaqim yang paling terkenal dan legendaris adalah K.H. Abdul Hamid, Kajoran. Menjelang wafatnya, Mbah Hamid Kajoran menghadap Kyai Mustaqim dan meminta gurunya tersebut untuk mengangkat K.H.R. Muhaiminan Gunardo, Parakan Temanggung, sebagai khalifah Thariqah Syadziliyyah menggantikannya.[26] Dari jalur Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, ijazah kemursyidan turun kepada K.H. Sami’un, pendiri pesantren Parakonje, Banyumas, yang kini dilanjutkan oleh generasi keduanya, KH Zaid Abu Mansyur, Lesmana, dan KH Abu Hamid, Beji.[27] Sementara dari Jalur Kyai Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh Abdul Kaafi II) Sumolangu, Kebumen, thariqah ini turun temurun diwariskan kepada putra-putranya Syaikh Mahfuzh dan Syaikh Thoifur, lalu pada generasi sesudahnya, K.H. Chanifudin dan K.H. Musyaffa’ Ali.[28] Sementara itu jalur kemursyidan Syadziliyyah di Solo, dimulai dari Kyai Idris bin Zaed, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, Solo. Di masa Kyai Idris, Pesantren Jamsaren tumbuh pesat sebagai pusat pengajaran agama Islam yang cukup disegani di Jawa Tengah bagian selatan. Apalagi dengan menyandang kedudukan sebagai pusat pengajaran thariqah Syadziliyyah, yang membuat semakin menambah wibawa pesantren ini. Sebelum wafat, Mbah Idris mewariskan ijazah kemursyidan kepada diturunkan kepada kemenakannya, K.H.R. Abdul Mu'id bin Thohir, keturunan Kyai Imam Rozi, salah seorang senopati Pangeran Diponegoro yang bergelar Singomanja. Ketika kemursyidan berada di tangan Kyai Abdul Muid, yang bermukim di Desa Tempursari, Klaten, perlahan pamor kethariqahan Jamsaren meredup, hanya tinggal pamor sebagai pusat pengajaran agama Islam terbesar di Solo. Kyai Abdul Mu’id mendidik ribuan murid. Salah satu yang kemudian diberi ijazah kemursyidan adalah putra tertuanya, K.H.R. Ma'ruf Mangunwiyoto. Karena kealimannya, Kyai Ma’ruf diminta menjadi salah seorang ulama dan qadhi (hakim agama) di Keraton Kasunanan Surakarta. Kyai Ma’ruf pun kemudian menetap di kampung Jenengan, sekitar dua ratus meter sebelah selatan Pasar Kembang, Solo. Ketika pecah perang kemerdekaan, Kyai Ma’ruf yang kharismatik dan menjadi salah satu tokoh besar thariqah Syadziliyyah di Jawa pun ikut aktif menggerakkan para kiai ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan melalui Barisan Kyai dan Sabilillah. Selain menurunkan ijazah kemursyidan kepada putranya, Kyai Ma'ruf, Kyai Abdul Mu'id Tempursari juga memberi ijazah kekhalifahan kepada K.H. Soeratmo bin K.H. Amir Hasan, yang lebih dikenal dengn nama Mbah Kyai Idris Kacangan, Boyolali. Selain mendapat ijazah dari Tempursari, Mbah Idris Kacangan juga mendapatkan ijazahnya dari K.H. Abdul Razaq Tremas Pacitan, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari K.H. Ahmad Ngadirejo. Kyai Ma'ruf sendiri kemudian hanya sekali mengangkat salah seorang muridnya menjadi mursyid yakni Kyai Shodiq Pasiraja Banyumas. Hanya kepada Kyai Shodiq. Bahkan Kyai Ma’ruf tidak menurunkan kemursyidannya kepada putranya, K.H. Djami’ul Abror. Beliau lebih memilih mengembalikan maqam kemursyidan sepeninggalnya kepada shahibut thariqah, Syaikh Abil Hasan Ali Asy-Syadzili. Dengan wafatnya Kyai Ma’ruf berakhirlah garis kemursyidan thariqah Syadziliyyah di Solo, sebab Mbah Idris Kacangan pun hanya memiliki ijazah kekhalifahan yang tidak bisa diwariskan.[29] Jika ditinjau dari tradisi regenerasi kemursyidan thariqah, keputusan Kyai Ma’ruf untuk tidak lagi mengangkat seorang mursyid setelah Kyai Shodiq besar kemungkinan karena ketatnya Kyai Ma’ruf menjaga tradisi dan ajaran thariqah yang menegaskan bahwa kemursyidan seseorang adalah kehendak Allah dan Rasul-Nya, bukan atas kemauan sang mursyid sendiri. Hanya alasan menjaga tradisi ini yang masuk akal sampai-sampai hingga akhir hayatnya Kyai Ma’ruf tidak mengangkat putranya sendiri menjadi mursyid, meski dari segi kealimannya Gus Abror cukup memenuhi syarat. [30] Bahkan dalam konteks tertentu, seorang mursyid pun tidak mengangkat khalifah baru, ketika seorang khalifah wafat. Habib Luthfi, misalnya, ketika diminta mengangkat pengganti Kyai Idris Kacangan oleh murid-murid Syadziliyyah di Kacangan menegaskan, “Kuwi lak karepku lan karepmu, ning karepe sing duwe thariqah ora ngono kuwi.” (Itu –mengangkat pengganti—khan kemauan kita, tapi kehendak sang pemilik thariqah tidak demikian.—garis silsilahnya hanya sampai di sini,- penulis).[31] Mengikuti tradisi keilmuan thariqah, murid-murid dari Syaikh Ma’ruf, Jenengan, dan Syaikh Idris, Kacangan, pun rata-rata melanjutkan bai’at dan suluk mereka kepada mursyid-mursyid thariqah Syadziliyyah lain yang saat ini masih hidup. Meski ada juga yang secara kasuistik justru mengibarkan bendera kemursyidan sendiri.